Friday, January 21, 2011

Intermezzo: 10 Hal yang Ingin Saya Lakukan Sebelum Mati

  1. Minum (paling tidak) secangkir Kopi Luwak (sudah terwujud)
  2. Berlibur di pantai nudis bersama Charlize Theron, Nicole Kidman, dan Naomi Watts
  3. Berlibur ke Nepal, Skotlandia dan pantai Normandia di Perancis
  4. Menangkap/menyentuh Hiu Putih Besar yang hidup
  5. Makan tiram mentah (raw oyster)
  6. Berlayar dengan kapal induk bertenaga nuklir Amerika Serikat
  7. Berkunjung ke kampus Akademi Militer AS di West Point dan sarangnya Divisi Lintas Udara ke-101 "Screaming Eagles" di Fort Campbell, Kentucky, AS
  8. Bekerja/berkantor paling sedikit tiga bulan di areal bandar udara
  9. Menumpang helikopter UH-60 Black Hawk
  10. Naik di lokomotif diesel CC201 dan CC203 dari Stasiun Gambir ke Stasiun Purwokerto

Wednesday, January 19, 2011

Peluang Permenungan


“Manusia pada dasarnya mau berubah, hanya bila itu berasal dari dirinya.”

—Prof. Dr. Sarlito Wirawan Sarwono, gurubesar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.



Beberapa waktu lalu, saya menonton film Forever Strong (2008) lewat saluran televisi berbayar (paid television) Star Movies, yang berkisah tentang pelatih rugbi asal Amerika Serikat, Larry Gelwix. Film ini memberi saya kesan tersendiri, bukan terhadap permainan rugbi yang keras, strategi permainannya atau kerja tim para pemainnya, melainkan tentang bagaimana menangani anak-anak muda yang bermasalah.


Film itu sendiri bertolak dari kisah anak muda Rick Penning yang lantaran mengemudikan mobil dalam keadaan mabuk menyebabkan dirinya dan pacarnya mengalami kecelakaan dan membuat ia divonis pengadilan untuk mendekam di Panti Rehabilitasi Remaja Bermasalah di Salt Lake City selama satu tahun. Ia juga kehilangan posisinya sebagai kapten tim rugbi Arizona.


Setiap kali membuat masalah di panti rehabilitasi itu, Rick dipaksa duduk di depan meja petugas bimbingan dan penyuluhan, bernama Marcus, dan didiamkan selama waktu yang tak terbatas. Marcus menyuruh Rick untuk bertanya pada dirinya sendiri, kesalahan apa yang telah diperbuatnya. Marcus tidak memberi nasihat maupun teguran; yang dibutuhkannya adalah cara komunikasi yang persuasif dengan membiarkan Rick berpikir secara independen, mendengarkan dirinya sendiri. Sementara itu, Marcus hanya sibuk menekuni pekerjaannya. Setiap kali Rick bertanya, apakah ia boleh pergi, Marcus berkata, “Tidak, sampai kamu mendengarkan suara kamu sendiri.” Marcus juga menekankan bahwa untuk mendengarkan itu dibutuhkan kedisiplinan.


Ketika Rick merenung dan mendengar suara batinnya, ia menyatakan diri menyesal atas perbuatannya dan meminta maaf.


Atas rekomendasi Marcus, yang sepakat untuk memberi nilai yang baik pada Rick yang dapat mengurangi masa hukumannya, anak muda itu pun bergabung dengan tim rugbi Highland, sebuah klub rugbi SMA di bawah asuhan Larry Gelwix. Rick sempat kesal lantaran Gelwix dianggapnya tidak pernah turun lapangan untuk melatih anak-anak asuhnya. Ternyata Gelwix mempraktikkan metode yang sama dengan Marcus: para pemain diharapkan agar tidak ragu untuk mengikuti kata hati mereka, dengan mendengarkan suara batin mereka.


Peluang permenunganlah yang diberikan Marcus maupun Pelatih Gelwix kepada anak-anak muda itu. Melalui permenungan kita memasuki ruang batin kita, di mana yang ada hanya kejujuran dalam pikiran dan perasaan, perkataan maupun perbuatan. Setiap kita, paling tidak sekali seumur hidup, pernah mendengar suara batin itu, memberi petunjuk-petunjuk di kala kita mengalami kesusahan. Sebenarnya suara batin itu selalu ada dan berkata lirih di tengah keheningan yang kita telusuri, bila saja kita bersedia memanfaatkan peluang permenungan di sela-sela kesibukan kita.©




Pondok Jaya, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, 19 Januari 2011, pukul 18.25 WIB

Sunday, January 16, 2011

Negeri (Tanpa) Harapan


“Perubahan tidak akan datang jika kita menunggu orang lain atau waktu lain. Kita sendirilah yang kita harapkan. Kitalah perubahan yang kita cari.”

—Barack Obama



Seorang perempuan di sebuah dusun di kawasan Purwokerto Barat, Banyumas, Jawa Tengah, menawarkan bayi yang sedang dikandungnya untuk saya adopsi.


Kemiskinanlah yang mendorongnya berbuat begitu. Dia sudah punya dua anak, dan tidak sanggup untuk menanggung perawatan anak ketiga, yang diperolehnya akibat upaya keluarga berencana yang 'kebobolan'.


Bersama istri, saya kunjungi gubuk reyotnya. Suaminya adalah buruh serabutan, yang tidak berada di rumah ketika saya datang. Tantangan kemiskinan mendorongnya untuk bekerja tak peduli waktu. Ia mendukung keputusan istrinya untuk menyerahkan anak ketiga mereka kepada orang tua angkat.


Perempuan itu berkisah bahwa ia pernah menjadi TKI di Malaysia. Bekerja sebagai pembantu rumah tangga dengan gaji tujuh ratus ribu rupiah per bulan, setara dengan gaji PRT di keluarga-keluarga kelas atas Jakarta. Lalu, mengapa harus ke Malaysia? tanya saya.


“Saya mencari harapan yang lebih baik, Mas,” jawab perempuan itu sambil mengelus-elus perutnya yang membuncit sedemikian rupa, yang menandakan kondisi dirinya yang hamil tua.


Harapan yang lebih baik? Apakah negeri ini sudah tidak punya harapan? Saya tercenung saat itu, merenungkan apa gerangan yang saya miliki untuk memastikan bahwa harapan saya lebih baik daripada perempuan itu.


Saya menerawang, ke belakang dan ke depan. Negeri ini tidak bisa memberi harapan. Sampai kapan pun. Yang bisa adalah diri kita sendiri. Sedangkan negara dapat menciptakan situasi yang kondusif agar harapan-harapan rakyatnya, apa pun itu, selama masih realistis, dapat terealisasi.


Situasi yang berkembang sekarang membuat masyarakat kehilangan kepercayaan atas apa pun yang mereka yakini selama ini. Bahkan kepercayaan diri pun merosot hingga ke titik nadir. Kepercayaan pada sesuatu yang lebih besar daripada eksistensi manusia (Tuhan) juga telah surut bagai ombak yang menarik diri dari pantai. Tidak mengherankan bila tingginya angka bunuh diri mampu membunuh kenyataan bahwa negeri ini merupakan tempatnya agama-agama dapat tumbuh subur.


Para pemimpin yang membiarkan diri dipimpin oleh ego mereka sendiri telah memelorotkan harapan banyak orang, menjadikan negeri ini hampir tak memiliki harapan. Dewasa ini, semakin banyak orang yang terhipnotis oleh harapan yang dijanjikan negeri-negeri lain. Mulai dari kalangan kelas bawah yang merasa tidak punya harapan sampai orang kaya yang kelebihan harapan.


Hidup tidak berhenti pada harapan. Bahkan bergantung pada harapan saja akan menghasilkan hidup yang tidak nyata. Adalah lebih baik jika harapan ditindaklanjuti dengan upaya untuk mewujudkannya. Apa pun kendala yang menghadang di muka, seyogianya langkah kita tidak surut selama kita meyakini harapan kita.


Orang-orang beriman merupakan sosok-sosok yang meyakini bahwa setiap harapan mereka dapat terwujud lewat setiap langkah usaha mereka. Sang Buddha mengajarkan, agar kita jangan hanya duduk diam, melainkan supaya kita melakukan sesuatu. Jika harapan kita adalah perubahan, misalnya, lakukanlah perubahan itu, tidak usah menunggu orang lain atau alam yang melakukannya.


Tidak ada negeri yang dapat memberi atau tidak dapat memberi kita harapan—apakah negeri itu kaya-raya atau tidak. Harapan adalah cetusan dari diri kita sendiri, dan pemenuhannya juga berawal dari niat kita sendiri. Jadi, apakah masih ada harapan di negeri ini? Jawabannya ada pada diri kita masing-masing.(AD)



Pondok Jaya, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, 17 Januari 2011, pukul 04.46 WIB


Friday, January 14, 2011

Petaka Perkataan


"Setiap hari dari hidup kita kita menabung di bank pikiran anak-anak kita."
--Charles R. Swindoll, The Strong Family


Kawan saya adalah seorang pria yang sopan dalam bertutur kata dan bertindak. Dengan latar belakang pendidikan di bidang akuntansi yang gelar akademisnya ia raih di sebuah universitas di Inggris, ia menjabat direktur external relations dari sebuah perusahaan pertambangan minyak bumi yang berbasis di Jakarta.

Dengan perilaku dan jabatan semacam itu, kawan saya seharusnya tak mengalami kendala dalam berhubungan dengan orang lain serta mengambil keputusan atau inisiatif. Seharusnya!

Tetapi, ternyata tidak demikian kenyataannya. Saya sendiri heran. Dengan gelar akademis dari universitas di luar negeri, dalam persepsi saya, seharusnya ia mewujud sosok yang tangguh, cerdas dan cergas serta tak ragu dalam memotori orang banyak dengan keberanian mengambil inisiatif dan keputusan lantaran berani bertanggung jawab. Yang saya lihat malah dirinya selalu diliputi keraguan dan tidak bergerak kalau ‘pantatnya tidak ditendang’. Ada apa? Mengapa bisa begitu?

Baru-baru ini, saya memperoleh jawabannya. Ia bercerita bahwa di keluarganya ia merupakan anak yang diremehkan kemampuannya, bukan saja oleh saudara-saudaranya, tetapi bahkan oleh orang tuanya, terutama ayahnya. Dan itu sudah berlangsung sejak ia masih kecil. Ia bahkan sempat mengalami depresi sebagai akibatnya. Terbukti dari ceritanya, perkataan saja bisa membawa petaka.

Ketika kepadanya dipercayakan tanggung jawab pelaksanaan tugas di organisasi di mana kami berdua menjalankan fungsi sebagai pengurus nasionalnya, dengan disertai dorongan semangat bahwa dirinya tidak seperti yang dikatakan keluarganya, ternyata ia dapat memenuhinya dengan baik, bahkan mengagumkan. Ketua umum organisasi yang menugaskan kawan saya itu berujar bahwa kondisi dirinya tidak ditentukan oleh apa yang dikatakan orang lain padanya. “Jangan biarkan penilaian orang menghambat kemajuan lu,” kata si ketua umum.

Kita menjadi apa yang kita pikirkan tentang diri kita, demikian ungkapan orang bijak. Karena itu, jangan diperburuk oleh apa yang menjadi pikiran orang lain terhadap diri kita.

Perkataan memang terkesan sepele, tetapi dayanya ternyata dapat berdampak pada psikologi orang ke mana perkataan itu ditujukan. Bukan saja kepada anak-anak, namun juga kepada orang dewasa. Apalagi kepada anak-anak, yang sedang dalam masa pertumbuhan, di mana apa saja yang ditawarkan oleh lingkungannya, baik secara sadar maupun tidak, bakal terserap olehnya. Katakanlah hal-hal buruk pada anak Anda, niscaya ia akan cepat mempercayainya dan bahkan tercamkan di pikirannya, seolah hal-hal itu merupakan kebenaran yang mutlak.

Waktu saya kecil, kepada saya dikatakan oleh orang tua saya bahwa berimajinasi itu tidak baik dan buang-buang waktu saja. Saya memang suka melamunkan hal-hal yang di luar jangkauan saya. Untungnya, saya mengabaikan perkataan orang tua saya, karena setamat kuliah saya menekuni profesi di mana berimajinasi justru merupakan salah satu syarat utama untuk berhasil, yaitu sebagai praktisi kreatif periklanan.

Dari pengalaman ini, saya menyadari betapa beratnya tugas sebagai orang tua. Apa pun yang dikatakannya kepada anak-anaknya akan menentukan masa depan mereka. Jika yang dikatakannya baik, niscaya anak-anaknya akan tumbuh sesuai perkataannya. Sebaliknya, bila yang dikatakannya buruk, anak-anaknya akan menjadi pula sesuai yang dikatakannya.

Wahai para calon ayah, berhati-hatilah dengan apa yang akan Anda katakan kepada anak Anda kelak. Jangan sampai perkataan Anda membawa petaka bagi hidupnya.


Tulisan ini merupakan artikel saya untuk rubrik "Calon Ayah" di tabloid Gen@.