Saturday, October 30, 2010

Nilai-Nilai Tak Bernilai

 Nilai sejati manusia dapat ditemukan pada seberapa banyak ia telah beroleh kebebasan dari dirinya.

~Albert Einstein

 

PERTAMA kali memasuki dunia periklanan, saya menandai sesuatu yang tidak saya pahami sampai sekarang. Ini terkait dengan cara berbusana orang-orang yang bekerja di biro iklan, utamanya di departemen kreatifnya. Rekan-rekan saya kebanyakan mengenakan pakaian hitam atau bernuansa gelap, berpenampilan bak orang yang sudah berhari-hari tidak mandi, mengenakan sandal dan, yang laki-laki, berambut panjang, acak-acakan tidak karuan.

Saya sempat mengira, begitulah seharusnya orang kreatif berbusana dan berpenampilan. Tetapi perkiraan ini luntur tatkala saya bekerja di biro iklan yang merupakan rep office dari agensi papan atas Jepang. Suatu ketika, presiden direktur, client service director dan executive creative director dari kantor pusat di Tokyo, Jepang, datang berkunjung ke kantor saya. Mereka tampak matang, berwibawa dengan rambut pendek dan rapi serta cenderung memutih, serta berbusana jacket-and-tie yang mencerminkan eksklusivitas yang elegan.

Belakangan saya menyadari bahwa nilai-nilai kreativitas seseorang tidak dapat dibentuk oleh caranya berpenampilan atau oleh atribut-atribut yang disandangnya. Para pengarah seni (art director) dan/atau desainer grafis, yang pernah bermitra dengan saya dalam mengerjakan sejumlah proyek komunikasi pemasaran dan korporat, banyak yang terjebak dalam pandangan yang keliru ini. Tak jarang mereka berpenampilan urakan, beberapa di antara mereka  bahkan tidak tahu tempat, dengan berpenampilan sedemikian rupa ketika rapat dengan klien. Tetapi dalam hal berpikir dan bertindak kreatif mereka tidak maksimal. Pendek kata, tidak ada korelasi apa pun antara penampilan seseorang dengan tingkat kreativitasnya.

Sesungguhnya, atribut tidak dapat menunjang hakikat kemanusiaan kita. Parahnya, atribut-atribut ini tak jarang dipaksakan untuk diterima sebagai nilai-nilai atau norma-norma umum. Nama orang, misalnya, baru dianggap bersentuhan dengan agama tertentu apabila nama itu menyerupai nama orang asal negeri dari mana agama itu berasal. Saudara Subud saya merupakan seorang mualaf, tetapi ia tidak mengganti nama baptisnya dengan sesuatu yang kearab-araban, lantaran menurutnya keimanan seseorang tidak dapat diukur dari nama yang disandangnya. Toh ia taat beribadah sebagai seorang muslim, berbuat kebaikan dan tak pernah lupa beramal.

Baru-baru ini, dalam suatu diskusi tentang temuan arkeologi bahwa Majapahit merupakan kerajaan atau kesultanan Islam, mitra diskusi saya mengajukan keraguannya hanya lantaran nama pendiri Majapahit, Raden Wijaya, bernuansa Hindu.

Busana pun begitu. Saudara Subud saya, seorang ustaz, suatu kali diundang untuk memimpin pengajian di rumah orang. Ia datang dengan mengenakan kemeja batik, yang karuan saja mengundang pertanyaan tuan rumah, mengapa ia tidak berbaju koko sebagaimana undangan lainnya. Menurut tuan rumah, baju koko itu Islami, sedangkan batik tidak mencerminkan keislaman. Saudara Subud saya itu pun “memberi kuliah” sejarah kepada si tuan rumah, bahwa baju koko tidak ada kaitan sama sekali dengan Islam dan bahwa Islam bukanlah Arab, walaupun agama itu berasal dari sana. Baju koko digagas Sunan Kalijaga dari model baju tradisional pria Jawa (beskap).

Kita tampaknya hidup di lingkungan yang menganggap bahwa atribut yang disandang seseorang lebih bermakna daripada kesejatian dirinya. Orang yang tampil apa adanya dan jujur dicaci, sedangkan yang palsu dipuji. Padahal semua itu nilai-nilai yang tak bernilai sama sekali. Saya pikir, betapa mudahnya memperdayai orang lantaran itu.

Tolok ukur kreatif tidaknya seseorang dinilai dari pola pikirnya serta hasil nyata (tangible) yang diperoleh dari proses berpikir tersebut. Kawan saya, seorang creative writer di sebuah stasiun televisi swasta, mengundurkan diri lantaran peraturan perusahaan yang mewajibkan kru departemen kreatifnya berkemeja dan berdasi. Walaupun, menurut saya, peraturan itu berlebihan, tetapi janganlah hal itu menjadi kendala dalam mengoptimalkan pikiran dan tindakan kreatif kita. Yang diberi kemeja dan dasi kan raga, bukan jiwa kita. Jika kita dapat bersikap melampaui raga, mau dibatasi bagaimanapun tubuh kita seharusnya tak mencegah pikiran kita untuk melanglang buana di alam bebas ruang dan waktu.

Untuk menggapai ide-ide segar dan kreatif diperlukan bagi kita untuk mengosongkan diri dari nilai-nilai tak bernilai, baik yang niskala (intangible), yaitu pemikiran dan pertimbangan yang tidak relevan, maupun yang sekala (tangible) seperti busana dan aksesori—dan sebaliknya, menghasilkan karya yang tak terkira nilainya.©2010

 

Pondok Jaya, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, 30 Oktober 2010—terinspirasi oleh kekaguman akan imajinasi para kreator film Transformers: Revenge of the Fallen yang saya tonton di HBO.

Tuesday, October 26, 2010

Pelaku Biasanya Lebih Tahu


Taklimat (brief), pengetahuan tentang produk (product knowledge), informasi tentang persaingan, khalayak sasaran, situasi pasar dan beragam informasi lainnya merupakan bahan bakar yang menggerakkan tim kreatif di biro iklan untuk membuat iklan yang bukan saja bagus, tetapi juga tepat sasaran dan punya daya jual. Namun, tak jarang pihak klien tidak memiliki semua yang dibutuhkan tim kreatif.

Saya pernah dan sering mengalami hal semacam ini. Namun, daripada menganggapnya sebagai hambatan yang membatasi ruang gerak dan ruang pikir saya, saya menjadikannya tantangan untuk mengetahui dari sudut pandang klien apa gerangan yang diinginkannya agar dilakukan biro iklan terhadap produknya. Pelaku biasanya lebih tahu.

Saya pelajari produk pesaing dari kategori yang sama. Saya cermati kecenderungan-kecenderungan pasarnya, dan berkata pada diri sendiri, "Kalau aku jadi kliennya, aku akan melakukan begini dan begini." Hal seperti ini dianjurkan oleh Roger van Oech, antara lain dalam bukunya yang berjudul Whack—Pukulan untuk Merangsang Kreativitas dan Ide Baru (Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer, 2008) untuk dilakukan oleh mereka yang ingin menggapai kemampuan berpikir dan bertindak kreatif. Seringnya, sikap seperti ini membantu saya memahami keinginan dan kebutuhan sebenarnya dari klien. Dan hasilnya jarang sekali meleset!

Suatu ketika, saya berada pada pihak yang mengontrak jasa biro iklan. Saat itulah, saya merasakan langsung bagaimana, sebagai klien, biro iklan kadang bersikap sok tau tentang apa yang dibutuhkan klien. Saya teringat pada mantan bos saya di suatu biro iklan papan atas Jakarta, yang tak pernah lupa menandaskan, "Jangan berikan apa yang diinginkan klien, tapi berikan apa yang dibutuhkannya."

Pada berbagai kesempatan, mantra ini tidak sepenuhnya berhasil. Klien akan cenderung menganggap biro iklan sok tau tentang apa yang sebenarnya ia butuhkan. Pada berbagai kesempatan pula, saya diberitahu oleh keadaan bahwa apa yang dibutuhkan oleh klien bukanlah iklan yang kreatif atau larisnya penjualan produk sebagai dampak dari strategi komunikasi pemasaran yang jitu, melainkan sekadar perasaan nyaman lantaran ada pihak lain yang membantu mereka dalam memecahkan persoalan pemasaran produk.

Melihat dari sudut pandang pihak lain merupakan cara terbaik membangun pemahaman terhadap sikap dan perilaku mereka tanpa pretensi, yang bila sebaliknya malah menimbulkan prasangka-prasangka. Seperti diungkap Malcolm Gladwell dalam bukunya,What the Dog Saw--Dan Petualangan-Petualangan Lainnya (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2010), yang mengetengahkan sembilan belas kisah sepele, namun menjadi bermakna lantaran Gladwell mengemukakannya dari sudut pandang pelaku. Benang merah yang menjalin kesembilan belas artikel Gladwell yang pernah dimuat di majalah The New Yorker itu adalah upaya memahami kehidupan orang dan makhluk lainnya dari kacamata mereka, sehingga akan diperoleh pemahaman betapa beragamnya kehidupan kita.

Jangankan memahami sikap sesama manusia, memahami segala sesuatu yang dilihat anjing penting untuk kita ketahui. Yang mengagumkan, Gladwell memaparkan segala sesuatu dengan rinci, yang bakal membuat pembaca geleng-geleng kepala. Hal-hal remeh saja dapat ia jabarkan demikian mendalam, panjang dan lebar, seakan itu penting untuk diketahui. Justru lantaran itulah yang remeh tidak bisa dianggap enteng lagi.

Buku keempat Gladwell yang aslinya diluncurkan pada 20 Oktober 2009 ini disambut positif oleh para kritikus. Secara khusus, Gladwell dipuji untuk gaya penulisan dan gaya berceritanya, dengan setiap bagian digarap dengan sempurna. What the Dog Saw dikritik hanya untuk penggunaan statistiknya dan lemahnya landasan teknisnya.

Selain dipilih sebagai judul buku--mungkin lantaran bernada provokatif dan memancing penasaran, What the Dog Saw juga merupakan judul salah satu bab dari buku setebal 457 halaman ini, yang mengisahkan Cesar Millan, pelatih anjing profesional, yang piawai menundukkan anjing-anjing yang memberontak terhadap pemiliknya. Tulisan yang tidak kalah menariknya adalah yang berjudul “Terlambat Panas”, mengetengahkan fenomena orang-orang seperti Ben Fountain dan Paul Cézanne yang baru mengalami titik didih kreativitasnya pada usia yang terbilang tidak muda lagi. Karya pertama Fountain, Brief Encounters with Che Guevara, sebuah kumpulan cerita pendek, langsung meledak dan mengangkat penulisnya ke panggung ketenaran setelah yang bersangkutan berjuang selama delapan belas tahun dan Fountain telah berusia 48 tahun.

Bab berjudul “Kesalahan John Rock” mengemukakan tentang penemu pil KB (keluarga berencana), John Rock, yang ternyata keliru memahami kesehatan perempuan, bahwa sebenarnya dengan memperhatikan jadwal haid perempuan kehamilan dapat dihindari. Rock merupakan seorang Katolik yang taat, tetapi ia melawan keputusan Gereja Katolik yang memvonis pil KB sebagai temuan yang 'melawan hukum Tuhan'.

What the Dog Saw tepat bagi mereka yang suka memperkaya wawasannya, karena cukup banyak hal yang tidak diketahui oleh publik terungkap di buku karya penulis Blink,The Tipping Point, dan Outliers ini. Gladwell menulis cerita sesuai yang dilihat oleh para pelaku dalam cerita itu, karena pelaku biasanya lebih tahu. Gaya bertuturnya penuh semangat--semangat untuk membagi informasi, mengumbar gejolak yang mampu membuat pembaca hanyut dalam petualangan-petualangan seru para pelaku di setiap babnya. (AD)


Pondok Jaya, Mampang Prapatan, Jakarta, 25 Oktober 2010.

Bekerja Dengan Cinta


“Setiap hal kecil yang kita lakukan dengan cinta pasti akan memberi hasil yang lebih baik.”

—Anonim

“Kamu bisa hidup di jalanan, kamu bisa menguasai seluruh dunia/Tapi kamu tidak punya arti/Apa yang kamu dapatkan, kalau kamu tidak punya cinta…/Kalau kamu tidak punya cinta, buat apa kita melakukannya...”

“What Do You Got”, Bon Jovi, 2010



Memasuki gerbang tol Cikampek, dalam perjalanan dari Jawa Tengah kembali ke Jakarta, kawan saya memberi tebakan ke saya: Pekerjaan apa yang paling tidak kreatif? Saya berpikir keras. Apa gerangan pekerjaan yang tidak ada unsur kreativitasnya? Saya benar-benar tidak tahu.


“Penjaga pintu tol,” kata kawan saya. “Itu pekerjaan paling tidak kreatif, cuma duduk saja, membagi-bagikan karcis masuk tol.”


Tentu saja saya membantah anggapan itu. Setiap pekerjaan, halal atau tidak, disadari atau tidak oleh pelakunya, pasti ada unsur kreativitasnya. Dalam prosesnya, suatu pekerjaan pasti menuntut pelakunya untuk mencari atau menciptakan cara-cara yang memudahkannya atau membantunya untuk membuat perubahan pada kerja atau caranya bekerja. Penjaga pintu tol mungkin akan memasang tape di gardunya agar ia bisa mendengarkan musik, yang pada gilirannya akan menaikkan semangat kerjanya. Itu saja sudah merupakan tindakan kreatif.


Menurut hemat saya, kreativitas dalam bekerja hanya merupakan hasil (outcome) dari rasa cinta yang kita tumbuhkan tatkala melakukan pekerjaan. Melakukan pekerjaan dengan cinta berbeda dengan mencintai pekerjaan, yang berkonotasi negatif, lantaran mengesankan workaholic, yang tidak saja merugikan diri sendiri, tetapi juga orang lain, utamanya keluarga.


Bekerja dengan cinta cenderung menyemburatkan nilai-nilai positif, seperti kualitas, kerja tim, profesionalisme dan kreativitas. Hasilnya bukan hanya berdampak pada diri sendiri, tetapi juga pada lingkungan kerja. Rasa memiliki (sense of belonging) terhadap tempat kerja atau perusahaan akan mengental, karena kita merasa tempat itulah yang memberi kita peluang untuk tumbuh dan berkembang. Kalau sudah begini, konsep ‘bekerja’ pun bergeser ke ‘berkarya’.


Kalau Anda bekerja di sektor jasa, misalnya industri komunikasi pemasaran, yang terkait dengan penyediaan layanan kepada klien, dan dari klien ke konsumen, unsur cinta akan membangkitkan energi penjiwaan dalam berkarya. Saat itulah, diri kita tidak lagi dikuasai nafsu akan materi, sebab karya yang terisi jiwa tak ternilai harganya.


Sejumlah kawan saya mengutarakan keheranan mereka, mengetahui bahwa kegiatan menulis catatan di Facebook atau blog saya, yang tidak ada upahnya, saya lakukan sama seriusnya, sama menjiwainya, sebagaimana saya menulis naskah iklan, naskah audio-visual dan artikel wisata yang berdasarkan pesanan, dan tentu saja ada imbalan materinya. Yang tidak mereka ketahui adalah bahwa yang satu menunjang yang lainnya. Bapak periklanan modern, David Ogilvy, mengatakan bahwa untuk menjadi hebat dalam membuat iklan, buatlah iklan setiap hari—dengan atau tanpa adanya pesanan dari klien. Dengan saya menulis tentang apa saja, setiap waktu mengizinkan, saya menjadi kian mahir menulis dan kian menjiwai pekerjaan saya sebagai penulis.


Pengalaman saya menuturkan, sekalinya kita bekerja demi uang—memperhitungkan tenaga, waktu atau keahlian yang kita miliki semata demi memperoleh keuntungan materi—saat itulah luntur penjiwaan dan komitmen kita atas pekerjaan itu. Sudah pasti, kualitas pekerjaan itu akan berkurang, bahkan lenyap.


Bekerja juga merupakan momen untuk mengenal diri kita sendiri: seberapa tinggi kemampuan kita, seberapa baik kita memperhatikan kepentingan perusahaan dan hubungan kita dengan orang lain, dalam hal ini rekan-rekan kerja, atasan dan klien. Tak jarang saya alami suasana kerja di mana pada awal bulan para pekerjanya justru berfokus pada akhir bulan—yaitu hari gajian—ketimbang mengerahkan segenap upaya untuk membuat pekerjaan mereka berkualitas tinggi. Mereka lupa bahwa gaji yang mereka terima bukanlah dari kekayaan bos atau perusahaan.


Gaji mereka merupakan hasil dari kerja keras yang berkualitas, kerja yang dilandasi cinta sehingga menghasilkan komitmen, dan dampaknya akan membuat semakin banyak klien atau pesanan berdatangan, dan dengan demikian perusahaan mengalami peningkatan pemasukan, yang sebagian dipakai untuk menggaji karyawan. Jadi, menurut saya, sangat tidak pantas dan tidak bermoral jika karyawan hanya menuntut gajinya, sementara ia mengabaikan atau meminimalkan kontribusinya bagi perusahaan.


Bekerja dengan atau tanpa cinta adalah pilihan bebas Anda. Tidak salah mengerahkan potensi Anda demi mendapat penghargaan materi. Tetapi bila Anda menginginkan peningkatan materi sekaligus kualitas diri, bekerjalah dengan cinta.(AD)



Met Liefde Café, Jl. Pangrango No. 16, Bogor 16151, Jawa Barat, 23 Oktober 2010.

Wednesday, October 20, 2010

Kemasan Hidup


“Terkadang hidup memberi kita pelajaran yang dikirim dalam kemasan yang edan.”

—Dar Williams



Pengalaman enam belas tahun di industri komunikasi pemasaran mengajarkan pada saya perbedaan antara produk dan kemasan. Yang diiklankan serta yang mendorong orang untuk membeli produk seringkali bukanlah produk itu sendiri, melainkan kemasannya. Dalam hal ini, kemasan bukan hanya wadah yang menampung atau membungkusnya, tetapi mencakup pula segala sesuatu yang tidak terkait langsung dengan hakikat produk, yaitu, antara lain, nama mereknya, periklanannya, pencitraannya dan pasarnya.


Pengetahuan akan hal ini membangun di dalam diri saya pemahaman esensial bahwa sesuatu atau seseorang tidak selalu seperti yang terlihat (nothing or no one is always like it seems). Makhluk, keadaan dan peristiwa tidaklah hakiki. Semua hanya makna, atau ‘kemasan’. Apa yang membungkus dan apa yang dibungkus tidaklah perlu dipersoalkan.


Pemahaman sufistik memandang bahwa pada hakikatnya manusia bukan makhluk material di alam spiritual, melainkan makhluk spiritual di alam material. Kita hidup di dunia yang dikemas sedemikian rupa, sehingga kita percaya bahwa itu yang sebenarnya. Keadaan ini kian diperkuat oleh yang kita sebut tren atau mode atau anggapan (yang keliru). Dan, sayangnya, banyak di antara kita yang lebih suka hidup dengan kemasan itu daripada menanggalkannya. Seperti dalam cerita pengalaman saya di industri komunikasi pemasaran, banyak konsumen membeli produk lantaran benaknya sudah dipengaruhi sedemikian rupa oleh upaya komunikasi merek untuk membeli produk dengan merek tertentu, dan bukan merek lainnya yang mengemas produk dari kategori yang sama.


Anda takkan tahu bedanya antara pasta gigi bermerek Pepsodent dengan yang menyandang nama merek ‘Ritadent’ apabila merek dan wadahnya ditanggalkan. Gara-gara sejumlah orang mengatakan ke saya bahwa Mie Sedaap berasa sabun (dikait-kaitkan dengan produsennya, Wings Food, di mana Wings sebelumnya dikenal sebagai produsen deterjen), saya pun benar-benar merasa bahwa kuah Mie Sedaap berasa sabun. Itulah dahsyatnya meme (virus akal budi) yang ditanamkan berulang-ulang ke benak orang hingga percaya, walaupun belum tentu benar. Masyarakat sudah telanjur memuja kemasan ketimbang isi.


Tahukah Anda bahwa hewan-hewan pemangsa paling ganas di dunia justru merupakan hewan-hewan paling cantik dan anggun? Lihat saja hiu putih, paus pembunuh, katak emas beracun (Phyllobates terribilis) atau ular kobra. Di dunia kriminal yang nyata, tak jarang sosok penjahatnya tidak sebagaimana yang digambarkan dalam sinetron atau film Indonesia, dengan tampang sangar dengan bekas luka di pipi, sebelah mata picik, badan bertato. Sama sekali tidak. Yang seperti itu justru para penjahat kelas teri. Yang kelas kakap perlu penampilan memukau agar dapat mengelabui korbannya.


Dalam kehidupan, kita sering menghadapi masalah dengan orang lain atau keadaan. Jangan terburu menganggap hidup tidak adil terhadap kita. Semua itu hanyalah kemasan yang membungkus kesejatiannya. Yang tampak hanyalah kulit durian yang dapat melukai tangan apabila kita tidak hati-hati dalam memegangnya atau mengupasnya. Kita harus mengupas kulit itu untuk merasakan lezatnya buah durian. Adakalanya kita berpikir, mengapa buah durian harus hadir dalam kulit yang tidak saja tebal tetapi juga berduri? Tanpa kulit, dagingnya akan cepat membusuk, sehingga alih-alih mendapatkan daging empuk nan manis, kita justru takkan bisa menikmati kelezatannya.


Seperti itulah kehidupan. Tanpa kita mau berupaya mengupasnya, menanggalkan lapis demi lapis kemasannya yang acap menciptakan persepsi yang keliru, kita hanya akan dihadapkan pada rasa sakit. Apa saja yang diperoleh secara instan—tanpa mengupas kulitnya terlebih dahulu—tidak akan bertahan lama. (Bayangkan saja seperti makan durian sekaligus dengan kulitnya!) Cobaan ibarat kulit durian tadi yang menunda nikmat, lantaran kata ‘cobaan’ adalah kemasan yang membungkus ‘nikmat’. Kita diharapkan dapat melewati cobaan yang satu ke cobaan yang lainnya, yang dalam prosesnya membuat kita belajar, menggali hikmah yang kelak menjadi alat untuk mengupas kulit terakhir yang akan menyingkapkan kepada kita buah nikmat yang kita cari.(AD)



Pondok Jaya, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, 20 Oktober 2010.

Tuesday, October 19, 2010

Pelangi

















Kulihat cinta kita pada setiap busur pelangi



Merah pipi
ketika cinta yang bersemi menerima puji

Kuning pijar mata yang terang
manakala kita saling memandang

Hijau diri kita yang baru jatuh cinta,
tak kuasa mengusir debar saat bertemu muka

Berbantal langit biru
kita saling merindu
Aku yang selalu ingin dekat denganmu
Kepada siapa lagi aku mengadu
kalau bukan pada pelangi
yang membawa warna hidupmu kepadaku...


Jakarta Selatan, 19 Oktober 2010, pukul 6.47 WIB.

Sadar Mengenai Kesadaran


"Dunia ini bukanlah masalah; yang jadi masalah adalah ketidaksadaran Anda.”

—Bhagwan Shree Rajneesh, pemimpin spiritual India (1875-1955)




Seorang lelaki di usia akhir dua puluhan berniat belajar tasawuf pada seorang mursyid (guru tasawuf) yang tinggal di pegunungan. Pergilah si lelaki tadi ke rumah sang mursyid. Lantaran hujan deras sedang turun dan medan yang dilaluinya berbatu serta mendaki, si lelaki membawa tongkat kayu dan berpayung.


Setibanya di rumah sang mursyid, si lelaki menaruh tongkat dan payungnya di masing-masing sisi pintu. Ia pun dipersilakan masuk oleh sang mursyid. Setelah si lelaki menyampaikan maksud kedatangannya, sang mursyid bertanya, “Di sisi sebelah mana pintu engkau taruh tongkatmu dan di sisi mana pula payungmu?”


Si lelaki kebingungan. Ia juga heran, mengapa sang mursyid menanyakan hal itu; apa relevansinya dengan niatnya untuk belajar tasawuf?


“Esensi dari tasawuf,” kata sang mursyid dengan tegas, “adalah kesadaran! Engkau belum sadar. Pulang sana, latih kesadaranmu!”


Sebagian besar dari kita pasti akan protes bila dibilang tidak sadar. Eits, jangan terburu-buru mengklaim diri sadar. Sadar beda dari tahu. Orang yang karena suatu musibah kehilangan kesadaran dapat tetap melihat dan tahu bahwa dirinya tahu, tetapi ia tidak sadar, tidak mengenali lingkungannya, di mana ia berada, dan sedang apa ia. Menurut Wikipedia, kesadaran adalah keadaan atau kemampuan untuk memahami, merasakan, atau menjadi sadar akan peristiwa, obyek atau pola sensorik. Dalam psikologi biologi, kesadaran diartikan sebagai sebagai persepsi dan reaksi kognitif dari manusia atau hewan terhadap suatu kondisi atau peristiwa.


Tahu adalah sekadar melihat dan mengerti, tetapi pengertian tersebut didasari oleh ilmu yang dipelajari dari sesama manusia atau literatur. Anda melihat pohon jati dan langsung mengerti bahwa itu pohon jati lantaran Anda pernah membaca di buku atau diterangkan seseorang bahwa pohon jati itu bentuknya begini dan begini.


Tetapi, apakah Anda dapat mengidentifikasi pohon jati di tengah kerumunan pepohonan yang beragam jenis, sedangkan Anda tengah berada dalam kendaraan yang melaju cepat melewati deretan pepohonan itu? Pasti tidak bisa.


Mengapa tidak bisa? Karena kesadaran Anda tidak difokuskan pada pepohonan tadi, melainkan, mungkin, pada perjalanan yang sedang Anda tempuh, atau pada kegiatan Anda mengemudi mobil.


Jadi, kesadaran bermakna pengetahuan yang melampaui ilmu yang dapat dipelajari dari buku atau guru. Kesadaran merefleksikan kemampuan memahami sesuatu secara luas dan tak berbatas, melampaui pengetahuan yang baku. Kalau Anda menyadari eksistensi sebuah pohon, misalnya, Anda akan menangkap makna hakiki dari manfaat dan tujuan dari keberadaannya, misalnya untuk memberi keteduhan. Kalau Anda sadar, Anda takkan menebang pohon tersebut, kan? Sekarang, berapa banyak orang yang tahu mengenai keberadaan pohon, tetapi toh menebangnya? Itu bedanya sadar dengan tahu.


Sang Buddha pernah ditanya seseorang, apa yang dilakukannya bersama murid-muridnya. “Kami makan, kami tidur, belajar, bekerja, berjalan,” jawab Siddhartha, sang Buddha Shakyamuni.


Lho, bukankah itu sama saja dengan apa yang dilakukan orang pada umumnya?” tanya orang itu lagi, keheranan. Sambil tersenyum, Siddhartha mengatakan, “Oh tidak. Tidak sama. Kami melakukannya dengan sadar.”


Pernyataan sang Buddha itu menegaskan adanya perbedaan antara melakukan sesuatu dengan sadar dan yang tidak diiringi kesadaran. Coba Anda fokuskan perhatian pada napas Anda selama lima menit. Lama-kelamaan Anda akan menyadari napas Anda. Dengan menyadari napas, kita akan menyadari kehadiran diri saat ini, dan di sini. Banyak orang justru menyadari napasnya ketika napasnya sudah tersengal-sengal, megap-megap, di penghujung nyawanya.


Coba Anda mulai belajar menyadari segala sesuatu yang Anda miliki, lakukan, dapatkan dan yang telah hilang. Anda akan segera mengetahui betapa banyak yang telah Anda sia-siakan—dan beberapa di antaranya bahkan sudah terlambat untuk digapai kembali. Meditasi merupakan cara untuk menggapai kesadaran itu. Meditasi bukan hanya duduk bersimpuh atau bersila, memejamkan mata dan mengonsentrasikan pikiran. Itu merupakan anggapan yang salah-kaprah. Meditasi (atau padanannya dalam praktik agama Islam disebut tafakur, atau jhana/semadi dalam Buddhisme) sesungguhnya bermakna mengerahkan segenap perhatian pada apa yang dilakukan, menjiwainya, memberinya arti dan manfaat.


Ada orang-orang tua yang selama melahirkan, merawat hingga membesarkan anak tidak benar-benar mengerahkan perhatian mereka pada tindakan-tindakan itu. Ketika si anak sudah besar, tiba-tiba saja mereka tersadar bahwa belum banyak yang mereka berikan pada si anak.


Sebaliknya dengan anak-anak juga demikian. Ketika ibu saya mengembuskan napas terakhir, dalam sekejap bergulung bak ombak samudra di benak saya kesadaran bahwa belum banyak yang telah saya persembahkan untuk membalas budi baik beliau, kesabaran dan cinta kasih beliau dalam merawat dan membesarkan saya. Kesadaran yang terlambat itu hingga kini mendera saya, sampai saya kerap berharap agar waktu dapat diputar kembali ke masa ibu saya masih berada di dunia ini bersama saya.


Latihan seni bela diri apa pun selalu diawali dengan meditasi, mengumpulkan benih-benih kesadaran akan manfaat dan tujuan dari latihan itu. Ada beberapa murid Taekwondo saya yang secara teknis amat menguasai jurus-jurus tendangan. Kaki-kaki mereka lentur dan gemulai namun kuat menghantam ketika melancarkan tendangan. Namun, saya perhatikan, mereka tak dapat menerapkannya ketika bertarung menghadapi lawan, dan selalu kalah. Masalah mereka terletak pada kenyataan bahwa mereka tidak menyadari manfaat dari jurus-jurus tendangan yang mereka kuasai.


Coba, deh, mulai sekarang Anda mengaktifkan kesadaran akan apa pun yang Anda kerjakan atau tidak kerjakan. Hidup Anda akan terasa bedanya—Anda akan menyaksikan lewat mata dan rasa betapa indah hidup ini. Bernapas dengan sadar, memberi dengan sadar, menerima dengan sadar, mencintai dan dicintai dengan sadar. Mudah-mudahan Anda bisa secepatnya sadar mengenai kesadaran. (AD)



Jakarta Selatan, 19 Oktober 2010.

Sunday, October 17, 2010

Love Is


For my wife...


I long to kiss your lips

because I thought you were there

—you weren't, but love is



I miss to hold you in my arms

because I thought you were there

—you weren't, yet love is



I constantly dream to caress you

because I thought you were there

—your weren't, but, yes, love is



In the end, I cannot stop thinking of you

And in my narrow mind, I thought you were your lips, your arms and your body

—you weren't, because reality tells:

You are just what love is...



Jakarta, October 13, 2010, 4.20 a.m.

Untuk Apa Semua Itu?


“Dunia akan berubah menjadi baik ketika orang memutuskan mereka sudah muak dan jemu menjadi muak dan jemu dengan dunia ini, dan memutuskan untuk mengubah diri mereka sendiri.”

—Sidney Madwed

“Kerja keras tidak pernah membunuh siapa pun, tetapi mengapa harus ambil risiko?”

—Edgar Bergen (1903-1978)



Hari ini, saya menemui teman semasa kuliah di Jurusan Sejarah FSUI (Fakultas Sastra Universitas Indonesia; sekarang bernama Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI, FIBUI) dahulu di kantornya, sebuah perusahaan konstruksi dan pengembangan properti berskala internasional, di mana ia duduk sebagai manajer produktivitas karyawan, yang bernaung di bawah departemen sumber daya manusia.


Saya menemuinya atas permintaannya sendiri, karena ia ingin tahu lebih banyak tentang dan belajar BEP (Bio Energy Power). Kebetulan pada saat itu, saya memang sedang memenuhi janji untuk bertemu dengan manajer promosi perusahaan itu, untuk presentasi kredensial. Teman saya itu sudah terkena penyakit tifus sebanyak dua kali dalam setahun; suatu gejala yang secara medis perlu mendapat perhatian khusus.


Teman saya itu tergolong sangat sibuk. Bahkan, seperti tuturnya, “Pekerjaan gue di sini adalah menciptakan pekerjaan.” Saya perlu energi ekstra kalau berbicara dengan dia, utamanya energi berpikir, lantaran cara bicaranya ‘melebihi kecepatan suara’; berpindah dari satu topik ke topik lainnya tanpa alur yang jelas.


Toh, untungnya, dia ingat apa tujuan saya menemuinya: tanya-jawab soal BEP. Sehingga waktu dan energi dicurahkan ke topik itu. Tetap saja saya harus mengerahkan energi berpikir dan berbicara, karena pada saat saya belum selesai menjawab satu pertanyaan dia sudah melompat ke pertanyaan berikutnya. Matanya tidak selalu tertuju ke saya, melainkan ke jam dinding, ke telepon selulernya untuk memeriksa pesan singkat, atau ke luar dinding kaca ruang kerjanya, dari mana ia mengawasi anak buahnya.


Ia berbicara dengan napas tersengal-sengal dan lemah. Ia memang baru pulih dari tifus babak keduanya. Dalam keadaan tidak sakit (saya tidak menyatakan ‘sehat’ lantaran ia sebenarnya tidak pernah benar-benar sehat secara fisik maupun psikis; paling pol hanya sedang ‘tidak sakit’), ia berbicara cepat, tetap dengan napas tersengal-sengal, tetapi kuat.


Selesai saya menjelaskan soal BEP, pada saat yang sama dia ditelepon sekretarisnya, yang memberitahunya bahwa kehadirannya dikehendaki di ruang rapat direksi. Memanfaatkan sedikit waktu yang tersisa, yang sebaliknya digunakan teman saya untuk menyiapkan segala sesuatu yang mesti dibawanya untuk menghadap direksi, saya bertanya: “Untuk apa semua itu? Capeknya, sakitnya, pekerjaan lu? Untuk apa? Coba lu luangkan waktu malam ini, di rumah, untuk merenungkan pertanyaan gue ini!”


Dia tertegun dan kemudian duduk di kursi kebesarannya, melihat sekeliling ruang kerjanya yang dipersempit oleh berbagai merchandise, buku, poster dan tumpukan kertas kerja. Ketika datang tadi, saya bahkan sempat berkomentar, “Ini ruang kerja atau toko suvenir, sih?”


Untuk pertama kalinya, saya melihatnya duduk terpaku, bingung, tidak bicara. “Untuk apa semua itu?” katanya, mengulang pertanyaan saya. “Hmmm, untuk apa ya?”


Saya mengangguk pelan. “Iya-ya, kok gue nggak pernah kepikiran itu. Iya, iya... Gue nggak tau juga, untuk apa semua itu,” ujarnya lirih.


Saya cerita ke dia kalau saya pribadi hanya mengoptimalkan potensi yang saya miliki; tak merancang tujuan, rencana atau harapan yang terlalu muluk. Ia sempat mendebat hal itu, menganggap sikap itu fatalistik, dan sesaat kemudian ia beralih topik lagi, mengenai buku ‘sukses dengan gagal’ yang sedang saya garap (sebagai ghostwriter) untuk seorang pengusaha properti sukses di Jawa Timur. Saya cerita ke dia, bahwa buku itu saya juduli Horee, Saya Gagal! – Cerita Sukses Pengusaha Properti.


Lha, si Bob Sadino juga nulis buku kayak gitu,” kata teman saya spontan, seraya memperlihatkan buku pengusaha eksentrik itu, berjudul Belajar Goblok Dari Bob Sadino, setelah menyingkirkan sejumlah kertas dan laptop dari atas meja kerjanya. Tampaknya dia tidak membaca detil buku itu secara seksama, karena di subjudul pada kulit buku tertulis kata-kata saya yang tadi didebatnya: Tanpa Tujuan, Tanpa Rencana, Tanpa Harapan. Saya segera tunjukkan subjudul itu padanya, membuatnya diam tak berkutik. “So, my friend, untuk apa semua itu?”


Saya senang dan hobi menulis, dan ketika menyadari, masih di bangku kuliah ketika tulisan-tulisan saya dimuat di media massa, bahwa menulis merupakan bakat saya, saya berdoa semoga hobi inilah yang dapat menjadi sumber nafkah saya. Sampai taraf mana? Sampai taraf di mana pekerjaan itu tidak lagi membangkitkan hasrat dan mendatangkan kepuasan bagi saya.


Tahun 2009 lalu, contohnya, sebuah proyek penulisan laporan tahunan harus saya batalkan di tengah jalan karena tidak ditunjang kerja sama tim yang solid dari agensi yang memakai jasa saya, klien yang tidak konsisten dengan pernyataan-pernyataannya, yang mengakibatkan banyak waktu terbuang percuma, lalu tiba-tiba saya dituntut agar menyelesaikan pekerjaan sesuai tenggat waktunya. Saya sempat menderita stres klinis, diiringi diare yang tidak kunjung sembuh selama lebih dari dua minggu. “Untuk apa semua itu? Itu tidak sepadan!” teriak saya dalam hati saat itu.


Walau semula khawatir – takut tidak mendapat uang, saya akhirnya memutuskan untuk membatalkan kontraknya dan menawarkan agar saya tidak usah dibayar saja, kecuali untuk waktu dan tenaga yang telah saya kerahkan saat masih menulis draftnya.


Seminggu kemudian, diare saya pulih dan hidup saya secara keseluruhan menjadi terasa ringan dan sehat. Wajah saya tampak selalu berseri-seri, mengundang minat sejumlah perusahaan untuk memakai jasa saya selaku penulis naskah materi komunikasi pemasaran dan korporat. “Saya senang dengan orang yang optimis kayak, Mas Anto!” kata salah seorang klien saya. Hilang satu (pekerjaan), tumbuh seribu lainnya! Jadi, untuk apa semua kesusahan itu? (AD)




Pondok Jaya, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, 15 Oktober 2010.