Wednesday, July 21, 2010

Delightful Life

Life is like an apple pie
It's hard on the outside, soft in the inside
It's not a lie,
as sweetness comes in every bite

Love is like a cupcake
Swelling as it may
And the sweetness is never fake
Gives your hopes a way

These mouth-watering delights
come as everybody's favor
Love life, live the love all days and nights
and the beauty is here for us to savor


Hotel Sentani Indah, Papua, 22 Juni 2010, pukul 19.28 WIT

Friday, July 16, 2010

Ini Atau Itu

“Kehormatan bukanlah tentang membuat pilihan-pilihan yang benar. Ini tentang menghadapi konsekuensinya.”
— Midori Koto

“Karena Anda mengendalikan hidup Anda sendiri. Jangan pernah lupakan itu. Anda menjadi diri Anda lantaran pilihan-pilihan sadar dan bawah sadar yang Anda buat.”
—Barbara Hall, A Summons to New Orleans (2000)



Lebih dari dua puluh tahun saya menekuni seni bela diri asal Korea, Taekwondo. Seni bela diri yang versi WTF (World Taekwondo Federation, yang bermarkas di Kukkiwon, Korea Selatan)-nya bersifat full-body contact itu mengajarkan saya – selaku pemegang sabuk hitam WTF – berbagai hal. Salah satunya adalah mengambil keputusan secara cepat.

Dalam pertarungan bebas, para taekwondoin tak jarang dihadapkan pada pilihan-pilihan yang sulit, tetapi harus segera ditentukan, bila tidak mau menjadi sasaran serangan lawan. Sikap plin-plan atau ragu-ragu adalah awal dari kesulitan yang lebih besar, atau kekalahan. Apa pun pilihan yang diambil ada konsekuensinya.

Adakalanya pilihan yang diambil ternyata keliru. Seperti yang saya alami dalam suatu pertarungan bebas dalam rangka latihan, belasan tahun silam, yang mengakibatkan saya kehilangan satu gigi depan, setelah sebuah tendangan sabit (balchagi) mendarat tepat di mulut saya.

Dalam hidup, kita selalu dihadapkan pada pilihan-pilihan, yang kadang waktu yang tersedia untuk menentukan mana yang terbaik sangat sempit. Banyak orang tidak suka (kebanyakan tidak punya keberanian) dengan keadaan di mana mereka harus memilih, ini atau itu, yang sama-sama menyenangkan atau, sebaliknya, sama-sama tidak menguntungkan. Laksana buah simalakama: kalah jadi abu, menang jadi arang.

Kebanyakan kegagalan dalam membuat pilihan disebabkan oleh keragu-raguan dikarenakan kekhawatiran bilamana pilihannya salah. Kekhawatiran ini timbul lantaran tidak semua orang suka menerima akibatnya atau mempertanggungjawabkan dampaknya, utamanya bila suatu pilihan menyangkut kepentingan orang banyak, sebagaimana yang kerap dihadapi pemimpin. Justru kegagalan dari suatu kepemimpinan disebabkan oleh kegagalan seorang pemimpin menentukan pilihannya – terlepas dari salah atau benar pilihannya.

Dalam hidup saya, tak jarang saya harus memilih. Tak jarang pula pilihan yang saya ambil ternyata salah. Tetapi menyesalinya tiada guna; pilihan sudah diambil dan dampaknya sudah menyeruak. Saya tidak dapat memutar waktu kembali untuk mengambil pilihan yang benar. Lalu, apa yang saya lakukan? Saya menerima kesalahan itu, memaafkan diri sendiri dan melepas rasa penyesalan yang hanya membuang-buang waktu saja apabila saya tetap bergelayut padanya, dan sebaliknya belajar dari kesalahan itu.

Dengan diri yang tenang, sabar, dan merelakan, menurut pengalaman saya, kita akan mendapatkan tuntunan untuk memperbaiki kesalahan itu, sehingga pilihan yang semula salah dapat menjadi benar, atau menjadi yang terbaik bagi kita. Pengalaman saya selama ini menuturkan bahwa sejatinya tidak ada pilihan yang salah; toh ini atau itu menuntun pada pembelajaran, pemetikan hikmah yang dapat membawa kita kembali kepada ‘pilihan yang benar’. Ini atau itu mengarah pada hal yang satu, yaitu pembelajaran! Apa pun pilihannya, semua adalah yang terbaik bagi pribadi kita.

Salah dalam menentukan pilihan adalah jauh lebih baik daripada tidak memilih karena takut salah. Paling tidak kita dapat menyadari di mana letak kesalahan kita dan belajar darinya. Orang yang tidak pernah salah justru punya kesalahan terbesar: ia tidak akan pernah belajar untuk memperbaiki atau berupaya meningkatkan kualitas dirinya.

Lebih buruk lagi apabila kita memercayakan pilihan kita pada orang lain yang kita anggap selalu benar atau bijaksana. Jangan pernah sekali-kali kita biarkan orang lain menentukan bagaimana kita harus bertindak atau berpikir. Kita, lagi-lagi, takkan belajar apa pun. Jadilah diri sendiri! Apa yang benar menurut orang lain belum tentu benar bagi kita. Kebenaran bersifat pribadi dan sangat subyektif. Saya heran dengan orang-orang yang dengan lugunya membiarkan arah jalan hidupnya ditentukan orang lain, didasari kepercayaan belaka bahwa orang itu selalu benar. Sebagaimana kita yang bisa salah dalam memilih, siapa pun tidak mungkin selamanya benar.

Pilihlah dengan hati yang tenang serta keyakinan bahwa apa pun yang Anda pilih, ini atau itu, mengandung hikmah pembelajaran yang pada akhirnya meningkatkan kualitas kita sebagai manusia. Saya memang kehilangan satu gigi depan akibat kesalahan dalam memilih satu di antara sejumlah strategi pertahanan diri terhadap tendangan lawan, tetapi saya tanggalkan penyesalan dan maju terus (move on). Paling tidak, saya belajar sesuatu mengenai strategi mengelak, yang kelak berguna bagi profesi saya di dunia komunikasi pemasaran. Itu hanya sepetik dari hal maha luas yang kita namakan 'hidup', yang menghadapkan kita pada pilihan-pilihan. Ini atau itu, tidak jadi masalah.©


Pondok Jaya, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, 10 Juli 2010

Wednesday, July 14, 2010

Cinta Tak Berupa

Ku ingin berkata rindu
tapi apakah hanya kata-kata yang berlaku?
Ku ingin melayangkan kecupan
tapi apakah cinta perlu sentuhan?
Kau bermakna getaran di dada
menyesap rasa mengarus nada
Tak bisakah cinta tak berupa
seperti hadirmu yang tak bercitra?

Dalam ruang sepi waktu hidup setiap hariku,
kutorehkan kata-kata pada usapan bayu
tentang rindu yang tak kunjung usai
tiap kali bahasa sunyimu membuai
Ku ingin berkisah tentang cinta
yang kutahu rasanya
tapi ku tak punya pengetahuan tentangnya
Tak ada bahasa seluruh dunia
mampu mengurai
keindahan rasa yang hinggap pada dua hati yang tak lerai
Tiada amarah mampu mencegah
asmara yang terus membuncah

Kisah ini tak berakhir di sini dan sekarang
Biar pandangan mereka kian terang
bahwa cinta tak pernah tidur
dan kuasanya tak pernah melantur
Kita ada di sini dan nyata
walau lisan tak punya kata,
senantiasa memuja ada
walau tak punya rupa
Laksana cinta yang dengannya kita merengkuh dunia...


Pondok Jaya, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, 12 Juli 2010, pukul 23.56.