Tuesday, June 29, 2010

Merdeka Tapi Kaya

Hingga kini, saya sudah empat kali ke Papua. Setiap kali ke daerah di ujung timur Kepulauan Indonesia itu, di antara cerita-cerita tentang keindahan alamnya, wisata budaya dan sejarahnya yang saya dengar dari tuturan orang-orang setempat terselip kisah yang rada kurang merdu, yaitu adanya upaya berkelanjutan untuk memerdekakan Papua; berdiri sendiri, terpisah dari negara kesatuan Republik Indonesia.

Namun, cita-cita tersebut tidak begitu populer di kalangan awam. Mereka melihat pada kondisi Timor Leste yang bergitu bercerai dari Indonesia menghadapi tantangan kesejahteraan ekonomi yang amat berat. Infrastruktur dan fasilitas publik yang tadinya ditunjang RI otomatis ‘dipulangkan’ kepada yang empunya. Merdeka bagi rakyat Timor Leste pada awalnya berarti menjadi miskin, karena harus mulai dari nol lagi, lepas dari campur-tangan kekuasaan asing.

Tampaknya telah menjadi hukum alam bahwa kemerdekaan harus dibayar dengan ‘pengurangan’ (deprivation) segala sesuatu, utamanya materi, dari diri kita, yang sebelumnya terpenuhi berkat keberadaan pihak lain. Ketika saya memutuskan untuk sepenuhnya memerdekakan diri dari status ‘orang gajian’, yang bergantung pada kemurahan majikan, keadaan ekonomi saya tergolong sulit. Kekayaan saya hanya ide-ide kreatif, pengalaman panjang yang menunjang profesi saya selaku penulis materi komunikasi pemasaran dan korporat, jejaring, serta keyakinan bahwa semuanya akan berjalan baik-baik saja.

Menjadi merdeka bukan persoalan mudah, karena seringkali menyangkut ketersediaan materi. Bagi sebagian orang bahkan merambat ke masalah harga diri lantaran status sebagai ‘orang merdeka’, apalagi bagi mereka yang terbiasa menyandang jabatan, bukanlah keadaan indah, nyaman dan tentram. Kemerdekaan baru sempurna jika kita juga mampu memerdekakan jiwa kita yang telanjur terborgol kebendaan.

Negeri ini sudah merdeka sejak diproklamasikan enam puluh lima tahun yang lalu, tetapi saya yakin masih banyak di antara kita yang terjajah jiwanya, bukan saja oleh materialisme, tetapi juga oleh amarah yang tak terkendali, kecemburuan, kecurigaan, egoisme, dan sikap-sikap negatif lainnya. Visi kesejahteraan lahir-batin akan sulit terwujud jika kita tidak memiliki jiwa yang merdeka.

Jiwa kita sejatinya merdeka. Dari ‘sananya’ ia tidak dilekati keduniaan. Dunia yang justru memasungnya sehingga tidak berkembang, malah stagnan. Untuk memerdekakannya (kembali) dibutuhkan upaya yang tidak mudah, tidak pula singkat. Tetapi jiwa yang merdeka tidaklah miskin, dari awal sampai akhir, tidak seperti kehidupan lahiriah kita yang selalu miskin pada mulanya lalu kaya kemudian, atau mungkin juga miskin selamanya. Ia kaya-raya, melampaui keadaan ekonomi orang-orang kaya yang dengan jiwanya yang terjajah materialisme sejatinya sangat miskin.

Saya pernah sangat iri pada teman saya yang amat kaya materi. Apa saja, saya kira, sebenarnya bisa ia beli dengan mudah, semudah membalikkan tangan. Rupanya perkiraan saya meleset, dan saya mengetahuinya waktu teman saya itu berkeluh-kesah pada teman lainnya, yang kami tuakan, di depan saya tentang betapa irinya ia pada diri saya. Teman saya satunya lagi tentu saja heran, dan bertanya, “Kok iso wong sugih (kok bisa orang kaya) iri pada wong kere (orang miskin)?”

Dengan mimik serius, teman saya yang kaya itu menandaskan, “Benar, Pak. Saya tuh iri sama Mas Anto. Dia punya banyak waktu dan peluang untuk jalan-jalan ke mana-mana. Saya ini, Pak, sudah empat tahun tidak liburan bersama keluarga. Bagaimana saya bisa liburan, wong saya selalu dituntut untuk terus menghimpun kekayaan!” Yang menuntutnya demikian bukan orang lain, melainkan dirinya sendiri.

Dari pengalaman remeh itu, saya memetik pelajaran tentang betapa tersiksanya jiwa-jiwa yang melekat keras pada materialisme (baca: segala sesuatu yang bukan sejatinya jiwa). Memerdekakan diri dari kemelekatan dengan dunia, sementara kita masih hidup di dunia, adalah gagasan yang sulit diterima oleh kebanyakan orang. Muncullah asumsi-asumsi yang mendasari amalan-amalan tertentu yang mensyaratkan pemiskinan diri, pengasingan diri dari pergaulan sosial, pengekangan (self-denial) lewat laku prihatin yang ketat, dan lain-lain.

Semua itu sebenarnya tidak perlu. Yang kita perlukan adalah kesadaran berlandaskan pengetahuan bahwa yang kita bawa mati adalah sang jiwa yang merdeka. Dalam Buddhisme, itulah yang dicita-citakan: pembebasan (dari kemelekatan). Jika kita menyelami sifat hakiki dari benda-benda di sekitar maupun yang ada pada diri kita, kita akan menemukan bahwa mereka hanyalah benda, yang sampai kapan pun tidak dapat memberi kita kepuasan.

Saya memperoleh kepahaman ini bukan dari laku semadi yang mendalam atau praktik spiritual yang begini-begitu, melainkan dari dunia komunikasi pemasaran yang lima belas tahun terakhir saya geluti. Tanpa merek dan upaya komunikasi, produk tinggallah produk, bukan sesuatu yang patut diidamkan secara berlebihan, dipuja atau menjadi sumber pertentangan, baik dengan orang lain maupun dengan diri sendiri. Tanpa merek tidak akan ada orang yang merasa dirinya lebih kaya, terhormat, atau bergengsi daripada sesamanya. Dan yang namanya merek, seperti dikatakan pakar permerekan (branding) legendaris dunia, Walter Landor, dibuat dalam pikiran kita, sedangkan produk dibuat di pabrik.

Jadi, pikiran itu yang harus kita kendalikan, lantaran pikiranlah penyebab timbulnya kemelekatan. Pikiranlah yang selalu mengatakan kita miskin atau kaya, berduka atau bersuka. Sekalinya kita memperoleh apa yang kita idamkan, ia akan membisiki kita bahwa itu belum cukup. Berdamailah dengan pikiran Anda sendiri, lalu kendalikan ia. Kikis semua yang tidak relevan dengan kesejatian jiwa kita. Sejatinya, jiwa bersifat merdeka. Merdeka tapi kaya.©


Kamar 117, Hotel Sentani Indah, Jl. Raya Hawai, Sentani 99352, Kabupaten Jayapura, Papua, 17 Juni 2010.

Posisi Pangkal Prestasi (?)

Semasa masih sekolah, utamanya sejak di bangku sekolah menengah pertama hingga perguruan tinggi, sebagaimana sejumlah teman-teman saya, saya suka nyontek saat menghadapi ulangan atau ujian. Terutama pada mata-mata pelajaran/kuliah yang tergolong sulit. Berbagai macam cara saya tempuh, mulai dari membuat catatan-catatan di kertas kecil, dengan tulisan diperkecil hingga ukuran yang kalau sekarang, di mana saya sudah mengenakan kacamata minus dua, sudah sulit terbaca; sampai duduk di sebelah teman yang dianggap jago dalam pelajaran tertentu. (Hanya dalam pelajaran Bahasa Inggris saya tidak mencontek, malah sebaliknya menjadi sumber contekan.)

Apa pun caranya, yang menentukan keberhasilan misi pencontekan adalah posisi duduk. “Posisi pangkal prestasi,” demikian bunyi motto pembangkit semangat para pencontek; posisi diatur sedemikian rupa agar aksi pencontekan dapat berlangsung tanpa terlihat oleh guru atau pengawas ujian.

Pada kebanyakan umat beragama, dan bahkan para pejalan spiritual (yang selalu mengklaim telah menemukan kebenaran hakiki) tampaknya berlaku motto para pencontek tersebut. Hanya saja, mereka tampaknya tidak menyadari bahwa Sang Pengawas dapat melihat, mendengar, dan mencium ketidakberesan hidup mereka, menembus batas-batas tempat dan masa, walau disembunyikan di relung-relung batin sekalipun.

Tanggal 13 Juni 2010 lalu, saya ikut rombongan Duta Besar (Dubes) Vatikan untuk Indonesia, Mgr. (Monsignor) Leopoldo Girelli, yang sedang melakukan lawatan pastoral (pastoral trip) ke gereja-gereja dan kalangan umat Katolik di Kabupaten Jayapura, Papua. Rombongan dimaksud terdiri dari delapan belas pastor dan tiga suster, sang Dubes sendiri, Mgr. Leo Laba Ladjar, OFM (Uskup Jayapura), saya dan mitra saya yang fotografer. Kami berdua ditugasi oleh Bupati Jayapura, Habel Melkias Suwae, untuk meliput perjalanan sang Dubes yang kelak akan dijadikan buklet.

Kami mengunjungi Pantai Amai, Distrik Depapre, Kabupaten Jayapura. Pantai itu terkenal lantaran keindahan alamnya, ketenangannya, dan posisinya yang memungkinkan para wisatawan dapat menyaksikan matahari terbenam dengan sempurna. Saat tiba di Pantai Amai, setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih setengah jam menumpang perahu motor cepat dari dermaga pelabuhan rakyat di Depapre, kami menjumpai sejumlah wisatawan, domestik maupun mancanegara, sedang berenang, berjalan menyusuri bibir pantai, atau sekadar duduk-duduk di bawah homai (pondok beratap daun tanpa dinding).

Namun cuaca sedang tidak mendukung; awan mendung tiba-tiba bergulung ke arah pantai. Karena itu, Pak Dubes hanya duduk di bawah homai ditemani Uskup Jayapura dan para suster yang sibuk menghidangkan makanan dan kudapan, juga saya yang sengaja mendekat pada beliau untuk mewawancarai beliau.

Senyum senantiasa mengembang di wajah sang Dubes yang hari itu melepas ‘pakaian dinas’ kepastorannya. Saya perhatikan, bahwa sesekali beliau menundukkan kepala, berucap sesuatu secara pelan dan hening, lalu mencium salib yang tergantung pada kalung rantai yang melingkari lehernya. Begitu khidmat. Bagaimanapun, beliau tetap dapat membaur dengan suasana sekitar, di mana para pastor dan suster bergurau di antara mereka dalam suasana yang meriah. Sikap beliau mengingatkan saya pada amalan Tarekat Sufi Naqshbandiyyah yang disebut khalwat dar anjuman (menyepi dalam keramaian).

Beberapa saat kemudian, beliau beranjak ke homai di sebelah yang sebelumnya beliau berada. Di homai satunya lagi, beliau membuka-buka Alkitab, sesekali memandang ke laut, lalu berdoa, dan menggerakkan tangan dari kening ke dada kanan dan kiri. Saat itulah, saya mencuri dengar dua orang pastor dan satu suster membahas keheranan mereka atas kebisaan sang Dubes untuk berdoa demikian khidmatnya di mana saja, tak peduli tempat. Si suster kemudian berujar, “Seharusnya kan kita memang bisa berdoa di mana saja.”

Saya kaget mendengar perkataan suster itu maupun kebingungan mereka, lantaran selama ini, paling tidak, saya sendiri semadi di mana saja, karena demikian yang diajarkan Sang Buddha. Bukankah para utusan Tuhan lainnya juga demikian: Berdoa di mana saja, seiring menjalani hidup – tidak harus berhenti sejenak, mencari tempat tertentu, untuk berkhidmat kepada Sang Kuasa? Berspiritualitas juga begitu; dapat dilakukan di mana saja, tanpa batas waktu, tempat, wadah (organisasi) dan bahasa.

Kenyataannya, masih ada pejalan spiritual yang memerlukan waktu, tempat, wadah dan bahasa khusus untuk bisa berkhidmat kepada yang mereka yakini sebagai Tuhan. Di Subud saja, misalnya, masih cukup banyak anggotanya yang merasa perlu datang ke Hall (ruang besar dan cukup luas tempat Latihan Kejiwaan Subud dilakukan secara sendiri atau beramai-ramai) pada hari-hari yang telah dijadwalkan. Akibatnya, banyak dari orang-orang ini tidak merasakan manfaat yang berarti dari Latihan Kejiwaan dalam kehidupan mereka sehari-hari (di luar batas-batas tembok Hall).

Spiritualitas adalah ranah ‘tiada’ yang untuk ‘mengada’ harus dimanifestasi lewat perkataan dan perbuatan. Sejauh yang saya tahu, semua ajaran agama memanifestasi kekuasaan di balik kehidupan kita lewat berbagai praktik kehidupan yang melibatkan kesadaran tertinggi akan kehadiran Sang Kuasa. Jika kita mampu menerapkan hal itu, itulah momen di mana kita ‘mendatangkan’ Terang, yang sejatinya ada di mana saja, dan bisa dijangkau kapan pun kita mau. Kenyataan ini sesungguhnya membatalkan hukum bahwa dalam praktik keberagamaan dan spiritualitas posisi adalah pangkal prestasi.©


Kamar 117, Hotel Sentani Indah, Jl. Raya Hawai, Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua, 14 Juni 2010, pukul 21.59 WIT

Thursday, June 24, 2010

DÉJÀ VU

Untuk Cc. yang pencariannya akan Terang mengilhami permenungan ini…


Namo Buddhaya…


Kembali aku ke sini, serupa aku yang belum pernah ada sebelumnya

laksana terlahir kembali sebagai tiada

Jadi manusia baru dengan jiwa lama yang tak punya rupa

Yang mendambakan cinta yang mengembara

dari hati yang bisu ke kata yang bersuara

Tak harap ini samsara, walau sesungguhnya hidup adalah dukkha


Dimuliakan atas namamu, Siddhartha

Yang padamu aku merangkul suaka

Tak ingin aku hidup dengan air mata

yang mengalir dari kisah derita pun dari bahagia


Ayo Cinta, kau ikut aku ke masa yang belum tiba saatnya,

di mana kau dan aku tak lagi berkata “kau dan aku”,

tapi aku – semata aku yang tunggal berjumbuh di luar waktu

Tak ada punya, tak ada kuasa,

tak melekat, tak ingin mendapat

Tiada menjadi, tiada memberi

Dan rindu tersimpan hening tanpa kata,

namun menyeruak dalam pembuluh rasa


Kau telah menduka demi sang ada

yang senyumnya menyembuhkan luka

Melarung jiwa-jiwa yang semburat

ke dalam setapak jalan hidup penuh nikmat

yang hak atas diri mereka,

walau duka menatap tanpa muka


Tinggallah kita di situ, memadu asmara

yang pernah tercipta dengan sang ada

Ikutlah denganku ke masa di depan itu

Terlahir kembali sebagai diriku dan dirimu yang menyatu

tanpa jatidiri yang berlaku…©


Sentani, Papua, 15 Juni 2010


Sunday, June 6, 2010

Tak Hirau dengan yang Bikin Risau

“Pikiran adalah pembantu yang baik, tetapi merupakan majikan yang sangat buruk.”
—Osho (Bhagwan Shree Rajneesh, 1931-1990


Bertahun-tahun yang lalu, ketika masih bekerja pada sebuah biro iklan di kota Surabaya, Jawa Timur, saya melewati pengalaman yang menyadarkan saya bahwa kerisauan berawal dari pikiran. Suatu ketika, saya hendak menunaikan salat di ruangan yang dipakai oleh bagian keuangan dari biro iklan tempat saya bekerja. Sajadah saya gelar tepat di depan lemari yang di atasnya terdapat radio yang suara gemerisiknya sangat mengganggu. Tetapi saya tidak tahu bagaimana memelankan suaranya atau mematikannya lantaran radio tersebut adalah tipe ‘acakadut’ – penuh tambal-sulam yang tidak jelas lagi fungsi tombol-tombolnya. Daripada waktu salatnya terlewat karena saya kelewat sibuk mencari cara bagaimana mematikannya, saya sudahi usaha melawan suara berisiknya dan mengerjakan salat hingga selesai.

Saat itu, saya sudah aktif berlatih kejiwaan Susila Budhi Dharma (Subud), dan karena itu familiar dengan yang namanya ‘menenangkan diri dan pikiran’. Dalam sembahyang Islam saja, menenangkan diri (tuma’ninah) menjadi prioritas, melampaui bacaan dan gerak. Saya pun menenangkan pikiran dan mulai mengerjakan salat. Di luar dugaan, salat saya khusyuk sekali, tak hirau suara radio yang bagi kebanyakan orang justru bikin risau itu. Bahkan pegawai bagian keuangan yang memasuki ruangan merasa heran, lantaran, seperti disaksikannya, saya salat dengan tenang meski radio bersuara nyaring berteriak lantang tepat di sebelah telinga kiri saya ketika saya berdiri tegak. Saya sama sekali tak terusik!

Belakangan, saya baca dalam bukunya Danai Chanchaochai, Dhamma Moments (Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer, 2006), bahwa para bhiksu Buddhis yang sudah sangat terlatihsamadhi-(meditasi)-nya bahkan dapat melakukannya di tepi jalan raya yang ramai dengan lalu-lalang kendaraan dan orang, tanpa terusik sama sekali. Dalam buku tersebut dikisahkan sang penulis yang terganggu dengan pekerjaan pembangunan gedung di sebelah tempatnya berlatih meditasi. Gurunya malah menyalahkan dirinya, yang tidak mampu mendamaikan pikirannya. “Alih-alih melawan keadaan sekeliling dirimu, lebih baik kamu berdamai dengan dirimu sendiri,” ujar gurunya.

Kebanyakan kita memang lebih suka menyalahkan orang lain atau lingkungan atas derita yang kita alami. Kita terlalu hirau dengan hal-hal yang bikin risau, sementara sumber kerisauan itu adalah pikiran kita sendiri. Saat kita biarkan pikiran berkuasa, memproduksi ketakutan, kemarahan dan penolakan, saat itu pula kebahagiaan yang merupakan ‘anatomi spiritual’ kita yang sejati berhenti mengada.

Dalam Buddhisme, sebagaimana dalam ajaran-ajaran agama serta praktik-praktik spiritual lainnya, musuh terbesar adalah diri sendiri. Dalam Islam diajarkan bahwa jihad (perjuangan) terbesar dan paling utama adalah jihad melawan diri sendiri. Buddhisme mengajarkan bahwa dalam menghadapi godaan-godaan yang merisaukan hati yang berasal dari segala sesuatu selain kita bukanlah dengan melawannya atau menentangnya, melainkan dengan – meminjam istilah Ajahn Brahmavamso dalam buku Hidup Senang, Mati Tenang (Jakarta: Ehipassiko Foundation, 2009) – mengenalinya (acknowledge), memaafkannya (forgive) serta melepasnya (let go). Dengan melakukan semua ini, kita berdamai dengan sumber (yang kita anggap) merisaukan tadi sekaligus berdamai dengan diri sendiri.

A-F-L dapat dilakukan dengan meditasi, yang bukan sekadar duduk dalam posisi teratai atau bersimpuh sambil memejamkan mata, melainkan sejatinya samadhi, yaitu menjalani hidup secara meditatif (sadar dan menyadari), hadir atau mengada sepenuhnya saat ini. Kita berada dalam sadar sepenuhnya apabila dapat meletakkan keseluruhan diri kita dalam apa pun yang kita lakukan. Hanya dengan begitu pikiran dapat didamaikan, tidak menggebyarkan khaos yang menyirnakan kebahagiaan kita.

Ketidakbahagiaan atau penderitaan yang kita alami dalam hidup ini sejatinya bertolak dari keadaan pikiran yang sulit berdamai. Dan kebanyakan kita juga tak mau melepas, sehingga alih-alih terbebaskan (yang menjadi tujuan Buddhisme), kita membiarkan diri melekat. Sang Buddha bahkan menyatakan bahwa kebahagiaan dapat pula menimbulkan kemelekatan, apabila kebahagiaan itu dicari, diburu, atau didamba. Kebahagiaan itu, kata Beliau, datang ketika kita tak lagi hirau dia bakal datang atau tidak. Tak hirau di sini bukan berarti tak peduli atau cuek. Hanya saja, kita tak perlu menantikannya dengan perasaan risau. Berusaha sajalah dengan sabar, menerima dan rendah hati. Inilah sejatinya kondisi pikiran nol (zero mind condition), yaitu pikiran yang tak hirau dengan yang bikin risau. Namaste


Penerimaan spiritual – Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, 6 Juni 2010, pukul 2.15 dinihari.

“Lepas Bajumu, Kalau Berani…!”

“Sebagai manusia kita semua ingin bahagia dan bebas dari penderitaan… kita telah belajar bahwa kunci menuju kebahagiaan adalah kedamaian batin. Halangan terbesar atas kedamaian batin adalah emosi-emosi yang mengganggu seperti kemarahan, kemelekatan, ketakutan dan kecurigaan, sementara cinta dan welas asih dan suatu rasa tanggung jawab universal merupakan sumber dari kedamaian dan kebahagiaan.”
—Dalai Lama

“Lebih baik dibenci karena sejatinya dirimu, daripada dicintai karena sesuatu yang bukan dirimu.”
—Andre Zide


Ketika saya masih aktif berlatih sistem pertarungan khas Korea, Taekwondo, menjadi pemegang sabuk hitam adalah impian terbesar saya. Saat itu, tidak terbayang oleh saya betapa besar tanggung jawab yang akan harus saya pikul dengan sabuk hitam yang melingkar di pinggang saya. Yang terbayang justru kepercayaan diri besar yang bakal saya miliki bila saya mencapai derajat itu. Terbayang oleh saya murid-murid saya akan menghormati saya dan orang-orang akan segan serta takut pada saya.

Ketika akhirnya sabuk hitam itu berhasil saya raih, memang benar kepercayaan diri saya luar biasa melambung. Pikiran saya dipenuhi imajinasi, bahwa bila bertemu orang yang mengancam saya di jalan akan saya sikat dengan tendangan-tendangan maut a la Taekwondo serta mengayunkan nunchaku (double-stick, yang saat itu memang menjadi senjata andalan saya) ke kepala mereka.

Tahun 1996, saya mengajar Taekwondo kepada para karyawan di biro iklan tempat saya bekerja. Salah satu murid saya suatu kali menceritakan pengalamannya ditodong pisau oleh seorang preman di kawasan terminal Blok M, Jakarta Selatan. Ia menyatakan bahwa ia sama sekali tidak berkutik. “Kalau saya pakai dobok (pakaian latihan Taekwondo) pasti saya lawan dia,” kata murid saya itu. Di situ saya mulai merenungkan, benarkah pakaian atau atribut dapat menjamin kemenangan atau kejayaan saya di hadapan orang lain?

Kenyataannya, banyak orang memerlukan atribut untuk membuat diri mereka tampil jaya di muka umum. Mereka tidak bisa menjadi dirinya sendiri, dan selalu membutuhkan sesuatu yang membuat mereka merasa orang akan memandang dirinya, menghaturkan respek pada dirinya, lantaran sesuatu itu. Di kalangan remaja fenomena semacam ini biasa terjadi dan dianggap wajar. Namun, fenomena itu telah pula merambah kalangan orang dewasa. Orang tidak bisa menjadi dirinya sendiri dewasa ini dan ini memprihatinkan. Orang-orang rela berbuat apa saja asal dirinya dihormati, dihargai dan disegani.

Yang secara finansial terbatas rela berbuat apa saja, berutang sana-sini, agar dirinya bisa ‘eksis’ di mata teman-temannya atau peer group-nya. Di mata kita eksistensi dirinya seolah terwakilkan oleh atribut yang dikenakannya atau barang-barang yang dimilikinya, padahal aslinya ia tersiksa lahir-batin lantaran harus berkorban banyak untuk itu. Dan, alih-alih dihormati serta dihargai, keberadaan dirinya lama kelamaan dipandang negatif. Orang-orang semacam ini layak, sekali-kali, ditantang: “Lepas bajumu, kalau berani!”

Tanpa ‘baju’ itu dijamin, deh, mereka bukan apa-apa atau siapa-siapa. Pengalaman saya bergaul dengan orang-orang semacam itu menuturkan bahwa pada dasarnya jiwa mereka lemah, penakut, dan, yang jelas, bodoh secara intelektual.

Sejatinya kita tidak memerlukan semua yang bukan asli kita; kita tidak dilahirkan dengan baju itu dan tidak akan mengenakannya ketika napas kita berhenti berembus untuk selamanya. Dalam pandangan Buddha, hal-hal semacam ini seringnya merupakan sumber penyebab penderitaan. Baju itu, tanpa diperlakukan secara bijaksana, akan menjadi kemelekatan. Pemiliknya akan merasakan kehilangan sangat besar apabila baju itu raib. Intinya, ketidakbahagiaan menghinggapi apabila dirinya tidak dapat memiliki baju itu. Pikirannya yang berkabut kemelekatan tidak akan tenang apabila baju itu belum menempel pada dirinya.

Buddha mengajarkan bahwa kemelekatanlah yang menyebabkan penderitaan dan melepas adalah penyebab bagi kebahagiaan dan jalan menuju Pencerahan. Bagaimana dapat melepas (let go)? Buddha mengajak kita untuk bermeditasi. Meditasi itu mudah. Bagi Anda yang mengalami kesulitan bermeditasi, itu karena Anda belum belajar untuk melepas dalam meditasi. Mengapa kita begitu menggubris apa yang orang lakukan atau katakan kepada kita? Semakin kita memikirkan hal itu, semakin bodohlah kita. Jika kita melepas dengan segera, kita tidak akan pernah memikirkannya lagi.

Melepas memberi kita kebebasan untuk menjalani hidup dengan mengalir (go with the flow) dengan mudah, tak terkendala baju apa pun. Berani melepas baju itu, saya yakin, akan membuat orang lain terpana terkena pancaran keindahan sejati kita.©

Cinta yang Rekat, Tetapi Tak Lekat

Bagaimana kau dapat membaui mawar tanpa terpaku pada harum, warna dan rekahnya?

Bagaimana kau dapat menyukainya tanpa terpatri pada wajah dan tubuhnya?

Bagaimana kau dapat menjaga harmoni tanpa rindu dan mimpi?

Bagaimana kau dapat menghormati dan menghargainya,
sedangkan hidupnya penuh salah dan dosa?

Bagaimana kau bisa memberinya sebagian dirimu tanpa harap menyatu?

Bagaimana kau dapat mencintai tanpa memiliki apalagi menguasai?

Bagaimana bisa kau beri dia cinta,
tapi kau tak tergoda keindahannya?


Di sini aku menulis
haiku* kesadaran

Menelisik diriku yang sedang merasakan cinta yang mulia di telapak
Analaya**,
lepas dari cengkeraman minat murahan sekeping emas

Yang tidak menawarkan diri seperti obral asmara daun hijau muda yang baru mengenal cinta

Lebur rasaku dalam penyatuan dengan shunyata

di mana yang ada cuma hamparan rasa dan rahasia

Meleleh lilinku dibakar api cintanya,

lalu membeku dalam tiada

Sebagaimana dia yang intinya Mengada tanpa Ada…



*) Sebentuk puisi, biasanya tidak lebih dari empat baris, yang menggambarkan situasi pada saat dituangkan. Para meditator Buddhisme Zen acap menggunakannya untuk melatih kesadaran terhadap waktu.

**) Kebebasan tanpa kemelekatan.



Permenungan atas wajah cinta Sang Buddha – Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, 2 Juni 2010, pukul 8.30.