Friday, March 19, 2010

Pulang ke Rumah Yang Sesungguhnya

“Perkawinan yang hebat bukanlah ketika ‘pasangan yang sempurna’ menyatu.
Melainkan ketika pasangan yang tidak sempurna belajar
menikmati perbedaan mereka.”
—Dave Meurer, Daze of Our Wives: A Semi-Helpful Guide to Marital Bliss
(Michigan: Bethany House Publishers, 2000)



Saya mengalami kejutan budaya yang hebat pada bulan-bulan pertama pernikahan saya. Betapa tidak, saya yang sebelumnya hidup dengan kebiasaan-kebiasaan dan norma-norma pribadi saya tiba-tiba harus membuka pintu rumah saya dan mengundang masuk seorang istri yang gaya hidupnya seperti bumi dan langit dengan saya. Saya ibarat api, dengan emosi meletup-letup dan blak-blakan dalam mengekspresikan diri, sedang istri saya adalah air sejuk yang mengalir malu-malu, cenderung tertutup. Saya, dahulu, bukan tipe orang yang mandiri, karena sejak kecil selalu dimanja, dan hidup dalam keluarga yang memiliki beberapa pembantu rumah tangga, sementara istri saya sangat mandiri – ia dibesarkan dalam keluarga angkatan laut, yang sering ditinggal layar oleh ayahnya, sehingga ia terbiasa mengurus dirinya sendiri.

Namun, dalam prosesnya, perbedaan di antara kami terjembatani oleh hati yang diliputi cinta. Alih-alih porak-poranda tak karuan, kami malah saling mengisi. Gejolak erupsi gunung berapi pada diri saya dapat dipadamkan oleh kesejukan airnya, dan sebaliknya ketertutupannya berangsur membuka secara bijaksana. Saya, yang tadinya tidak bisa apa-apa dalam mengurus rumah tangga, secara bertahap mulai mengerti tugas dan tanggung jawab dengan bimbingan istri saya.

Saat itulah, masing-masing dari kami menginsafi bahwa perbedaan tidak harus berseberangan, melainkan mendorong kami untuk saling menata diri membangun jembatan komunikasi. Saat itulah, masing-masing kami menyadari bahwa kami telah pulang ke rumah yang sesungguhnya, yaitu hati yang beratapkan cinta. Cinta yang bercirikan Pengorbanan – dengan meleburkan diri (ego) kita ke dalam subyek yang kita cintai, sehingga tidak ada lagi jarak yang memisahkan kita dengan subyek; Pengakuan sepenuh hati atas eksistensi subyek, dengan mendaraskan (recite) namanya berulang-ulang atau memvisualkan kehadirannya di benak kita; dan Penerimaan atas kenyataan diri subyek seutuhnya, sejati, tidak diada-adakan.

Perbedaan budaya ada di mana-mana, bukan hanya dalam kehidupan perkawinan. Dalam hidup bermasyarakat, perbedaan budaya menjadi dinamika di dalamnya, namun alih-alih membenturkan perbedaan-perbedaan tersebut, adalah lebih baik jika kita dapat saling melengkapi, apalagi kehidupan manusia hakikatnya merupakan organisme, di mana yang satu bergantung pada yang lainnya agar dapat sintas (survive).

Jika kita mau memahami budaya orang lain, atau kita mampu beradaptasi dengan budaya yang berbeda dari yang menjadi landasan pikiran dan perasaan, perkataan dan perbuatan kita sehari-hari, di mana pun kita berada kita akan serasa berada di rumah sendiri. Pada banyak kasus, kita seakan pulang ke rumah yang sesungguhnya, yaitu tempat di mana keakuan kita telah ‘mati’ dan karenanya mampu berpadu dengan orang lain dengan menafikan perbedaan suku, ras, ideologi, agama atau kepercayaan, dan paradigma. Di rumah yang sesungguhnya, menyurut ego kita, lebur dalam pemahaman bahwa orang lain adalah bagian dari diri kita juga, yang seyogianya tak kita musuhi atau jauhi. Malah, sebaliknya, harus kita syukuri, karena kehadirannya dapat mengisi atau melengkapi kekurangan kita.

Saudara Subud saya, seorang laki-laki Eropa, pernah mengembara ke salah satu negeri di Afrika. Ia sempat tidak betah, lantaran makanannya yang berminyak tidak cocok dengan selera Eropanya, udaranya yang panas membuatnya gerah dan mendidihkan darahnya, serta masyarakatnya yang kaku membuat ia merasa dimusuhi. Lalu, datanglah nasihat ibunya, agar ia melakoni ‘kunci’ dari Latihan Kejiwaan Subud, yaitu ‘menerima dengan ikhlas dan rida (cinta)’. Apa yang terjadi kemudian? Saudara Subud saya itu serasa pulang ke rumah: makanan yang tadinya tidak berkenan baginya tiba-tiba terasa lezat; udara yang panas terasa menyejukkan, dan setiap orang yang ditemuinya bersikap ramah padanya. Itulah pancaran Cinta yang berlandaskan pengorbanan, pengakuan dan penerimaan dengan sabar dan ikhlas, yang bakal membuat kita yang bersedia merangkulnya serasa pulang ke rumah yang sesungguhnya di mana pun kita berada.

Lain lagi pengalaman saya. Saya pernah bertentangan demikian hebatnya dengan kawan saya perihal sepele: soal desain komunikasi visual. Dia menganggap desain saya – yang minimalis – jelek, karena banyak ruang kosong. Saya menganggap desainnya – yang penuh sesak – kampungan. Akhirnya, setelah saling mengumbar emosi selama beberapa waktu, saya menginsafi, ini bukan masalah pribadi (walau dalam berbagai hal yang bersangkutan sering berseberangan dengan saya, yang jika saya menuruti ego bakal menyulut konflik berkepanjangan), melainkan menyangkut budaya.

Desain komunikasi visual garapannya terkena imbas budaya dari mana ia berasal. Saya pernah hidup selama lima tahun di tengah liputan budaya di mana kawan saya itu hidup; masyarakatnya cenderung keras, egaliter, dan (jika bicara) ramai – yang terejawantahkan dalam desain komunikasi visual yang tumpat dengan gambar, tulisan dan warna dalam penataan yang tak artistik. Untuk menjembatani perbedaan gaya desain komunikasi visual kami, maka lain kali saya akan memadukan kedua gaya tersebut, di mana desainnya akan bernuansa ‘kosong namun penuh’ – dengan memanfaatkan ornamentasi dalam tampilan yang sekilas tak tampak tetapi sebenarnya ada.

Saat saya berdamai dengan kawan saya tadi, serasa saya pulang ke rumah yang sesungguhnya, di mana hati kami menyatu dalam ruang perbedaan yang berpadu, saling mengisi. ©

KOSONG NAN PENUH

Aku kosong dari dirimu,

yang senantiasa membuatku bertanya:

"Mengapa engkau menyiksaku jika engkau penuh kasih?"


Aku kosong dari keberadaanmu,

yang membuatku menyimpan sangka:

"Mengapa kamu menyesatkanku kalau memberi petunjuk?"


Aku kosong dari segala namamu

yang bikin aku kebingungan:

"Mengapa ada jumlah ketika kau tak terbatas?"


Aku menjauh darimu,

yang buat aku penasaran:

"Mengapa kau tak tampak padahal kau lebih dekat daripada diriku sendiri?"


Aku kosong dari kebenaranmu,

yang sebabkan aku bertanya:

"Mengapa kebenaran sebanyak hambamu di muka bumi bila engkau satu?"


Aku kosong dari dirimu

yang membuatku tak habis berpikir:

"Mengapa kau membalas jika kau pengampun?"


Aku kosong dari semua yang mereka bilang tentangmu,

tapi pada saat yang sama diriku penuh dengan Terang pengetahuan,

bahwa ketika kami tahu sesuatu tentang dirimu

maka kau berhenti ada...





Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, 19 Maret 2010, mengawali puasa hari ke-9

TIBA-TIBA...!

Tiba-tiba, Kau ada di mana-mana,

memendar Terang di satu-satunya tempat yang ku tahu

Tiba-tiba, diriku menyatu

dengan nyata keterpisahan jarak dan waktu

Tiba-tiba, aku jadi berpengharapan

pada tempat tanpa ingatan

Tiba-tiba, aku tak tahu

bagaimana tiba-tiba semua ini mengada

Aku ikuti saja

ke mana semua tuntunan itu membawa

Tiba-tiba, tersadar aku Kau abadi,

sekarang dan di sini,

sehingga "tiba-tiba"

tak harus ada...



Jakarta, 17 Maret 2010

Terang di Balik Tangan

“Benci dosanya, jangan pendosanya.”
—Mahatma Gandhi


“Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki,
dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki.”
—QS 14: 4


Ada sebuah pengalaman nyeleneh yang saya peroleh dalam perhelatan Musyawarah Nasional PPK Subud Indonesia, 5-7 Maret 2010 silam, yang masih tersimpan di benak saya hingga kini. Pengalaman itu begitu pribadi sifatnya sekaligus menggetarkan – tentang bahwa Terang (baca: pencerahan) itu tersembunyi namun menyertai hidup kita selalu, dan untuk mendapatkannya adalah ‘semudah membalikkan tangan’ jika kita merelakannya.

Sebuah kejadian yang telah lama lewat sempat membuat saya menyimpan ketidaksukaan pribadi pada salah seorang saudara Subud saya, seorang perempuan muda, yang menurut penilaian pribadi saya bersikap sangat arogan ketika saya dikenalkan padanya. Segala sesuatu mengenainya sejak saat itu menjadi personal: saya cenderung membuang muka bila bertemu dengannya secara tak sengaja dan memendam hasrat untuk meludahi tampang angkuhnya. Tidak ada pada dirinya yang saya anggap positif; bahkan keberadaannya di dunia ini pun saya anggap tidak ada gunanya. Ia tidak memberi saya alasan apa pun, dari berbagai segi, untuk menyukainya. Dan keadaan itu telah berlangsung lebih dari dua tahun – dan saya juga tidak keberatan untuk mengkonfrontasinya selama bertahun-tahun ke depan.

Saya pernah menjadi pribadi yang mudah membenci orang-orang yang berbuat salah pada diri saya tanpa saya pernah memberi kesempatan pada diri sendiri untuk menjadi tercerahkan lewat kejadian-kejadian itu. Saya pernah menjadi sosok orang yang tidak mampu memaknai isyarat apa pun yang menyeruak dari hubungan-hubungan dengan orang lain, karena tangan batin saya senantiasa mengepal dengan keras (memendam amarah), sehingga tak mampu melihat Terang di baliknya.

Peristiwa di ajang Munas PPK Subud Indonesia yang berlangsung di kota Semarang baru-baru ini seakan telah meregangkan otot-otot tangan batin saya, yang membuka kemungkinan saya untuk mengintip Terang di baliknya. Saya bertemu, secara tak sengaja, dengan perempuan muda yang tersebut di atas. Seolah telah terlatih dengan sangat baik untuk mengantisipasi keadaan itu, spontan saya membuang muka. Tidak, orang semacam dia tidak mendapat tempat di hati saya, dalam hidup saya, bahkan tak layak bagi mata saya.

Namun, sejurus kemudian, ketika saya menoleh padanya, saya bahkan tidak memercayai diri saya sendiri – bahkan sempat saya mengumpat diri sendiri. Betapa tidak, rasa cinta yang mendalam – yang membuat hati saya bergetar – pada sosok ‘yang memuakkan’ saya selama ini kontan menyergap saya. Saya kebingungan sendiri, dari mana rasa itu datang, dan apa alasannya. Saat itu, saya merasakan kesejatiannya adalah saudara (adik) yang baginya saya harus menuangkan kasih tinimbang benci. Menyeruak dari kedalaman hati saya keinginan untuk melindunginya bahkan dari sifat-sifat tak terpuji saya.

Saat itu, saya menjadi saksi bisu (saya begitu malu pada diri sendiri maupun orang lain untuk mengungkapkannya secara lisan) bagaimana sang Cinta membalikkan hati saya semudah membalikkan tangan, dan di baliknya saya menemukan Terang: wajah sejati dari orang yang selama ini justru saya benci – yang karena itu saya tidak memberi kesempatan pada diri ini untuk berusaha menggali makna di balik eksistensinya.

Meski saat itu saya merasa sudah gila lantaran mendadak sontak benar-benar cinta pada orang yang di pikiran saya, yang beriklim amarah, mendapat tak lebih dari benci, saya menginsafi Terang yang tersembunyi dari penglihatan lahiriah kita semua, yang dengan kesediaan kita untuk merelakan dapat terungkap dengan mudah. Semudah membalikkan tangan.©

Tuesday, March 9, 2010

Berserah Diri Vs. Terserah Diri

“Untuk bisa menjadi diri sendiri, dan tidak takut apakah benar atau salah,
adalah lebih mengagumkan daripada kepengecutan yang ada
dalam kepasrahan demi kesesuaian belaka.”
—Irving Wallace (1916-1990), penulis skenario laris Amerika Serikat



Beberapa hari menjelang keberangkatan Pengurus Nasional PPK Subud Indonesia ke Semarang pada tanggal 3 Maret 2010, untuk berkonsolidasi dengan panitia penyelenggara Musyawarah Nasional (Munas) PPK Subud Indonesia yang diselenggarakan di kota itu, 5-7 Maret 2010, saya masih diliputi kebimbangan mengenai apakah saya jadi ikut atau tidak. Hari demi hari lewat dengan saya hanya duduk menanti ‘wangsit’ yang saya harapkan dapat memastikan jadi tidaknya saya berangkat ke Semarang.

Mengapa saya demikian ragu adalah karena dalam minggu itu (1-7 Maret) saya tengah menanti penugasan-penugasan dari dua klien saya, berupa wawancara dengan dewan direksi dan dewan komisaris dalam rangka penulisan laporan tahunan sebuah badan usaha milik daerah (BUMD) serta syuting profil video sebuah badan usaha milik negara (BUMN) yang bergerak di industri keramahtamahan (hospitality industry). Untuk yang tersebut terakhir, saya malah harus terbang ke Bali dan Lombok.

Sehari sebelum tanggal 3 Maret, saya ditelepon oleh Sekretaris Nasional PPK Subud Indonesia, yang menanyakan apakah saya jadi ikut ke Semarang. Dengan berat hati, saya menidakkan, berhubung jadwal kerja saya sangat padat pekan itu. Pada 3 Maret saja saya sudah dipastikan untuk mewawancarai dewan direksi dan dewan komisaris BUMD tersebut di atas. Tetapi segera setelah saya akhiri pembicaraan telepon saya mendapat pencerahan: “Berserah diri bukan terserah diri, duduk berpangku tangan menunggu datangnya tuntunan. Kamu harus berniat dengan sungguh-sungguh dan mewujudkan niat itu dalam tindakan, maka seluruh alam semesta akan bekerja mewujudkannya. Kamu harus berani memilih dan berani pula mempertanggungjawabkan pilihan itu.”

Saya menarik napas panjang dan mengembuskannya lamat-lamat sambil memejamkan mata. Ada kedamaian yang mengalir di dalam diri, keheningan namun juga kekuatan. Ya, saya memastikan diri, berserah diri bukan terserah diri, menanti secara pasif apa yang akan datang kepada saya, melainkan tindakan proaktif untuk berusaha semaksimal mungkin, tetapi menyerahkan hasilnya sepenuhnya kepada Yang Maha Kuasa.

Saya pun memberitahu klien saya, yang menanti kehadiran saya pada 3 Maret sore untuk mewawancarai dewan direksi dan dewan komisarisnya, bahwa saya harus membatalkannya lantaran pada 3 Maret pagi saya harus mengejar kereta api ke Semarang untuk ‘urusan yang tak kalah pentingnya’. Klien saya dapat memahaminya, dan menjadwal ulang wawancara itu: tanggal 8 Maret, pukul 10 pagi. Jadi, tidak ada masalah. Selebihnya, saya hanya berdoa, semoga jadwal syuting profil video dari klien saya yang lainnya tidak datang pada hari-hari sebelum Munas; kalau pun saya harus syuting juga, sementara saya sudah kepalang berada di Semarang, saya akan segera balik ke Jakarta, bagaimanapun caranya. Ketetapan hati itu membuat saya tenang melewati hari-hari di Semarang. Puji syukur, hingga Munas berakhir pada 7 Maret, saya tidak diminta pulang ke Jakarta untuk mengurus syuting, hal mana menandaskan kepahaman saya bahwa berserah diri bukanlah terserah diri.

Pada kebanyakan gerakan spiritual, bahkan agama-agama resmi, yang menjadikan berserah diri sebagai tema sentral mereka, dan berhasil menanamkannya sebagai amalan kemuliaan hidup bagi pengikut mereka, tak jarang dijumpai kecenderungan bahwa sikap batiniah itu dimaknai sekadar sebagai momentum menunggu yang sangat pasif, serta menafikan kerja akal pikir. Pendek kata, berserah diri bagi kebanyakan orang masih diwarnai dengan sikap dan laku terserah diri. Ini adalah apa yang disebut sebagai – meminjam istilah saudara Subud saya – ‘jebakan spiritual’.

Dalam bukunya, Awakening to the Sacred: Menggapai Kedalaman Rohani dalam Kegalauan Hidup Sehari-hari (Jakarta: Gramedia, 2002), Lama Surya Das menegaskan bahwa bahkan meditasi, yang sering dianggap sebagai sekadar duduk diam sambil memejamkan mata dan berkonsentrasi pada napas, sejatinya merupakan tindak proaktif dan partisipatif di mana meditator sepenuhnya menyadari kekiniannya; hadir sepenuhnya di saat ini dalam keadaan apa pun – diam atau bergerak. “(I)ni membantu kita memberikan perhatian pada apa yang tengah kita kerjakan persis pada saat kita mengerjakannya,” tulis bhiksu Buddhisme Tibet bernama asli Jeffrey Miller itu di halaman 213 bukunya.

Kebanyakan kita takut menghadapi konsekuensi dari tindakan yang kita lakukan, kecuali tindakan tersebut sudah dipastikan bahwa dampaknya membawa kebaikan. Kebanyakan kita lupa kalau Yang Maha Kuasa tidak pernah tidur; Dia memperhatikan kita, dan senantiasa memberi solusi – yang disalurkanNya lewat jiwa-jiwa yang tenang – meski kita salah memilih jalan atau salah dalam mengambil keputusan. Kenyataan ini menandaskan perlunya kita bertindak terlebih dahulu untuk ‘melihat’ tuntunanNya. Salah atau benar tidak lagi relevan bagi mereka yang telah menyelami samudra makna, yang bisa menerima semua dualitas (baik-buruk, sukses-gagal, kalah-menang, hidup-mati) dengan perasaan sabar, ikhlas dan tawakal.

Tidak ada yang tidak bisa, jika saja kita percaya. Tidak ada manusia yang tidak mampu. Ken Robinson, Ph.D. dalam The Element: How Finding Your Passion Changes Everything.(New York: Penguin Books, 2009) mengungkapkan kelumpuhan yang dideritanya akibat polio yang menyerangnya pada usia empat tahun tidak harus membuat ia duduk berpangku tangan di kursi roda. Dengan kaki kanannya yang lumpuh ia tetap mampu berlari mengejar impiannya – dan jadilah ia kini pakar pengembangan inovasi dan sumber daya manusia yang diakui secara internasional! Ia merelakan kenyataan bahwa dirinya cacat, tetapi ia berpikir tidak ada gunanya ia menyesali kenyataan itu – ia tidak membiarkan cacatnya membatasi dirinya.

Ada orang-orang di sekitar kita yang menjadikan berserah diri sebagai ‘legalisasi’ atas kemalasan mereka; untuk menyamarkan ketakutan mereka untuk bertindak. Apakah ini yang akan Anda pilih? Terserah diri Anda, deh.©

SESUATU YANG TAK KUTAHU TENTANG YANG KUTAHU TENTANG DIRIMU

Aku tak mengerti perasaan ini—
getar cinta yang tiba-tiba merasuk jiwa
saat aku justru membencimu

Bagai pendar matahari yang menyusup kelam hujan badai

Ketika kupalingkan wajahku dalam muak kehadiranmu,
seketika itu pula wajahmu mendesirkan darahku dalam pembuluh ketakjuban yang merindu

Rupanya ada sesuatu yang tak kutahu tentang yang kutahu tentang dirimu


Sekian lama aku menghindarimu
seakan kau bukan seperti aku, sehingga tak mungkin kita menyatu

Kau adalah duri dalam dagingku
kala aku menginsafi kau pula yang mencabutnya dan membasuh lukaku

Kau adalah kotoran hewan berbau busuk
yang memupuk bunga hingga menebar harum

Kau buat aku ingin mengusap lembut wajahmu di saat aku berhasrat mengusirnya dari pikiranku

Benar – ada sesuatu yang tak kutahu tentang yang kutahu tentang dirimu,
walau mungkin tak tahuku itu juga adalah tahuku

Sebagaimana dirimu yang kutahu...



Naskah asli ditulis di atas KA Argo Anggrek yang melaju dari stasiun Semarang Tawang ke Jakarta Gambir, 7 Maret 2010, pukul 14.56, dan terinspirasi sebuah kejadian nyeleneh saat berlangsungnya Musyawarah Nasional PPK Subud Indonesia di Semesta Hotel, Semarang, Jawa Tengah.