Wednesday, January 20, 2010

Udara Prasangka

“Teman terbesar Kebenaran adalah waktu, musuh terbesarnya adalah Prasangka, dan pendamping tetapnya adalah Kerendahan Hati.”
Charles Caleb Colton (1780-1832)


“Aku adalah sebagaimana yang hambaKu prasangkakan kepadaKu.”
—Firman Allah


Saya memiliki sifat pemalu. Dahulu, begitu kronisnya sampai saya sering mengurung diri di kamar. Saya juga tidak berani bilang ke guru bahwa saya harus ke toilet sehingga saya pun mengompol di kelas. Saya tidak punya banyak teman. Di sekolah, saat jam istirahat saya hanya berdiri mematung, dan tenggelam dalam obrolan dengan satu-satunya sahabat saya, yaitu diri sendiri, sementara teman-teman sekelas saya riang bermain.

Lebih parah lagi, secara akademis saya tertinggal – saya selalu mendapat rangking terakhir di kelas. Betapa tidak, saya tidak berani – begitu malunya – bertanya pada guru atau teman apabila tidak mengerti. Ketiadaan aspek komunikasi menghambat tumbuh-kembang saya sebagai makhluk sosial.

Buntut dari semua ini adalah merebaknya udara prasangka, yang saya hirup ketika saya bersosialisasi dengan lingkungan. Saya menjadi tidak suka dengan kelebihan yang dimiliki orang lain, baik yang sifatnya kasat mata maupun tidak. Bila melihat teman-teman saya berkerumun dekat saya dan membicarakan sesuatu, saya berprasangka bahwa mereka sedang menjelek-jelekkan saya. Jika seorang kawan saya bergaul dengan orang yang saya curigai sebagai musuh, saya berprasangka bahwa mereka sedang bersekongkol untuk menjatuhkan saya. Biasanya, dengan gaya menginterogasi saya tanya kawan saya itu apa yang ia bicarakan dengan ‘musuh’ saya. Pokoknya, saya selalu berprasangka buruk terhadap orang lain, tanpa ada upaya sadar dari pihak saya untuk membuka jalur komunikasi.

Serupa menghirup gas beracun, menarik napas dalam ruang berudara prasangka senantiasa menyesakkan dada, membuat diri terbakar dendam dan amarah yang tidak terungkapkan. Dan, alih-alih membangun jembatan komunikasi, saya mendirikan benteng pertahanan. Pamer kelebihan-kelebihan semu menjadi senjata saya menghadapi yang-saya-kira-musuh, sekaligus untuk menutupi kekurangan saya. Saat itu, saya membatin, “Boleh saja orang menjelek-jelekkan saya, tapi bagaimanapun saya lebih dari mereka dalam soal harta.” Saya tidak mampu menjadi diri sendiri dan itu membuat saya sangat tersiksa.

Itulah salah satu racun yang ditebar udara prasangka, selain sikap diri yang selalu diliputi kepura-puraan. Kepekaan diri yang terasah mampu mengidentifikasi dengan segera pribadi-pribadi yang teracuni udara prasangka. Saya pernah menjadi pribadi semacam itu, karena itu dengan cepat saya dapat mengidentifikasi mereka yang telah dan sering menghirup udara prasangka.

Sebagaimana saya dahulu, orang yang sehari-harinya menghirup udara prasangka mudah curiga, namun kecurigaannya tanpa dasar. Karena berdiam dalam benteng pertahanan diri yang bertameng egoisme, mereka selalu (dan dengan segera) merasa dirinya tertuduh dalam situasi-stuasi yang menuntut pertanggungjawaban atas suatu perbuatan, sehingga memberikan perlawanan yang konyol – keras tetapi laksana meninju angin lantaran memang hanya salah sangka.

Udara prasangka baru bisa mereda dan lenyap ditelan iklim kedamaian apabila dari pihak penghirup bersedia berkomunikasi dengan hati yang legawa dan diri yang kosong nan penuh; hening penuh kedamaian. Saya bertransformasi dari pribadi pemalu nan padat prasangka ketika pada suatu masa bekerja di sebuah biro iklan multinasional, di mana pengarah kreatif- (creative director)nya yang seorang ekspat menegur saya: “Karena kamu bekerja di industri komunikasi, kamu harus rajin berkomunikasi.”

Berkomunikasi bukan saja menyembuhkan saya, mendetoksifikasi racun-racun yang diakibatkan oleh udara prasangka, tetapi juga meniupkan kedamaian di hati serta menyemarakkan hidup saya. Saya jadi lebih memahami orang lain dan mendapatkan kemanfaatan dari hal itu, yaitu, antara lain, memperkaya wawasan intelektualitas maupun kapital spiritual saya. Lewat komunikasi yang langgeng, dengan pikiran yang terbuka dan hati yang sejuk, saya menginsafi bahwa ‘di bawah permukaan’, semua orang, apa pun status sosial-ekonominya, suku, ras, agama maupun budayanya, sejatinya sama saja: makhluk ciptaan yang mendapat perlakuan dari Sang Pencipta sesuai prasangka kita terhadapNya. Jika prasangka kita buruk, maka keburukan akan selalu menyertai kita. Begitu pula sebaliknya. Makanya, tutup hidung begitu tercium udara prasangka.©

Sudi Memaafkan

Wahai jantung, maafkan karena mengusik keharmonisanmu dengan asap tembakau

Wahai perut, maafkan aku telah memenuhimu dengan makanan dan minuman yang merusak

Wahai telinga, maafkan aku sudah memaksamu mendengar fitnah

Wahai mata, maafkan aku lantaran merepresimu dengan pemandangan-pemandangan tak senonoh

Wahai mulut, maafkan aku oleh sebab serapah yang kuteriakkan lewat ronggamu

Wahai hati, maafkan aku karena mengisi sejuknya ruangmu dengan dendam dan prasangka

Wahai maaf, sudikah engkau memaafkan aku sebab aku tak pernah memanfaatkanmu?

Padahal denganmulah jadi serasi aku dengan diriku dan lingkunganku


Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, 13 Januari 2010

Meratakan Kotak

“Usai permainan, raja dan bidak dimasukkan ke kotak yang sama.”
—Peribahasa Italia


Rentetan peristiwa dalam tiga bulan terakhir (Oktober-Desember 2009) menyadarkan saya bahwa sebaiknya saya menyerahkan semua urusan kepada Sang Pencipta tinimbang kepada sesama ciptaan. Kejadiannya bermula dari permintaan Asosiasi Subud Sedunia (WSA, World Subud Association) agar pengurus nasional PPK Subud Indonesia menyampaikan laporan tertulis tentang perkembangan-perkembangan terbaru di lingkungan Subud di Indonesia, yang kelak akan dipresentasikan dalam Kongres Dunia Subud di Christchurch, Selandia Baru, 4-18 Januari 2010.

Saya meniatkan diri untuk membuat supaya tampilan laporan itu cukup representatif, baik dalam muatan maupun desain cover-nya. Untuk dapat mewujudkan itu, saya pikir saya bisa mengandalkan saudara-saudara Subud saya yang berprofesi desainer grafis. Satu orang menyanggupinya.

Seiring waktu, saya mulai merasa khawatir karena mendekati tenggat waktu bahan-bahan untuk muatan laporan belum juga ada, sedangkan orang yang sudah menyanggupi dirinya untuk mendesain cover-nya tiba-tiba mendapat limpahan pekerjaan yang membuatnya tak punya waktu untuk mengerjakan pesanan saya. Akhirnya, saya menyerah pada keputusasaan, dan memutuskan untuk membatalkan niat saya.

Di luar dugaan, melewati proses yang cepat, yang melampaui kesanggupan akal pikir saya, laporan dengan muatan dan desain cover yang saya cita-citakan pun terwujud. Semua berlangsung ‘di luar kotak’ (out-of-the-box): saya tertuntun untuk menulis dengan ketersediaan bahan yang minim dan saya pula yang mendesain cover-nya, bukan dengan program Freehand yang begitu diandalkan para desainer (dan karenanya saya pun mengandalkan mereka), melainkan dengan Power Point. Keluaran (output)-nya, ketika dicetak, ternyata sama saja kualitasnya.

Saat saya melihat hasil akhirnya, saya laksana dimarahi oleh diri saya sendiri: “Kapan kamu akan belajar, bahwa bergantung pada Tuhanmu lebih bermanfaat daripada bergantung pada sesama manusia?” Saat itu, saya menyaksikan bahwa kehadiranNya meratakan kotak-kotak yang ada di pikiran kita – bahwa pekerjaan desain hanya bisa dilakukan desainer terlatih; bahwa kita perlu bahan yang banyak untuk menulis apa pun; bahwa pekerjaan tertentu memerlukan peranti lunak tertentu yang sesuai untuknya.

Kekuasaan Tuhan melampaui itu semua, meratakan kotak-kotak dalam pikiran kita. Kita membiarkan diri kita terkotak-kotak oleh sesuatu yang tidak nyata, sedangkan Tuhan meliputi kita semua, tidak pandang bulu, tidak pandang agamanya apa, tidak mempertimbangkan jenis kelaminnya apa.

Pengalaman ini kian menyadarkan saya bahwa dengan pertolonganNya kita bahkan dapat menerobos keterbatasan kita. Dia seperti hendak memberitahu saya bahwa dalam diri kita semua terdapat potensi-potensi – yang mewakili omnipotensiNya – yang menanti untuk mengemuka, asal kita tidak membangun kotak-kotak di pikiran kita. Semua bisa diwujudkan selama kita percaya padaNya, menyerahkan semua urusan kita kepadaNya.©

Friday, January 1, 2010

Kompleks Permasalahan

“Permasalahan besar yang kita hadapi tidak dapat diselesaikan dengan keadaan pikiran yang sama yang dengannya kita menciptakan permasalahan itu.”
—Albert Einstein (1879-1955)



Salah seorang sahabat saya suatu kali ditimpa permasalahan kehidupan – bercerai, anak semata wayangnya dibawa oleh istrinya, dan bisnisnya bangkrut. Ia membantah saya ketika saya bercerita tentang orang-orang yang punya permasalahan yang mirip dengannya dan bagaimana mereka mengatasinya. “Permasalahan mereka tidak sama dengan aku. Permasalahanku lebih kompleks!” katanya, yang intinya menekankan bahwa ia tidak perlu nasihat saya. Hampir setiap hari ia mengeluh kepada Tuhan, mengapa dia yang diberiNya cobaan seberat itu. Namun, ketika sahabat saya itu berhasil melewati cobaan tersebut, ia malah bilang bahwa permasalahannya ternyata simpel saja dan jalan keluarnya mudah.

Sahabat saya yang lainnya juga mengekspresikan kegundahannya akan permasalahan hidupnya, yang dianggapnya jauh lebih kompleks dari semua permasalahan yang ada di muka bumi ini. Dan, sebagaimana orang-orang yang menderita sindrom ‘permasalahan-lebih-kompleks’ lainnya, ia menolak membuka diri terhadap dukungan moril dari siapa pun, karena “Permasalahanku sangat kompleks, susah diselesaikan!”

Hampir setiap kita pasti menderita kecenderungan ‘permasalahan-saya-lebih-kompleks-daripada-yang-lain’ ini. Saya pun kadang, bila ditimpa masalah yang tidak bisa saya temukan jalan keluarnya, merasa sayalah yang paling menderita. Padahal sejatinya tidak ada yang dapat melampaui lebihnya Yang Maha Lebih, seberat atau sekompleks apa pun permasalahan yang kita hadapi. Yang menyebabkan kita mengira kitalah satu-satunya yang menderita adalah ketidaksediaan kita untuk bersikap rendah hati di hadapan Sang Kuasa.

Manusia sering bersikap egoistis terhadap sesamanya, bahkan ketika ditimpa problema hidup. Dirinyalah yang harus jadi satu-satunya yang menderita dan hanya dirinya yang mesti dikasihani. Lha, kalau semua orang merasa begitu, maka tidak akan ada lagi satu permsalahan yang ‘istimewa’. Sejatinya, semua permasalahan sama saja, walau berbeda muatan. Tetapi, yang pasti, semua ada jalan keluarnya, yang bisa diperoleh bila diri kita berada dalam keadaan tenang lahir-batin. Tinimbang memencilkan diri dengan permasalahan-lebih-kompleks, mendingmenghuni kompleks permasalahan, di mana diri Anda menginsafi kenyataan bahwa permasalahan Anda tidak lebih kompleks dari permasalahan orang lain, hanya muatan emosi Anda dalam menghadapinya yang berbeda tingkatan. Layaknya kompleks perumahan yang arsitektur rumah-rumahnya mirip satu sama lain, tetapi penghuninya saja yang beraneka jenis.

Saudara Subud saya pernah mengatakan, di kala saya mengeluhkan bahwa permasalahan saya saat itu sangat kompleks. “Kompleks atau tidak kompleks tergantung pada ‘ini’ kita.” Jari telunjuknya menunjuk ke pelipisnya. Pikiranlah yang selalu mengatur-atur diri kita, bahwa apa yang ada pada diri kita melebihi apa yang ada pada orang lain, termasuk permasalahan-permasalahan kita.

Kasih Tuhan dibuktikanNya dengan ketersediaan solusi atas setiap permasalahan, betapa pun kompleksnya. Hanya saja, kita suka menutup diri terhadap kemungkinan-kemungkinan. Ketenangan diri, mengabrasi emosi dan kemarahan yang cenderung menghakimi, membawa kita keluar dari anggapan bahwa permasalahan yang kita hadapi lebih kompleks dari apa pun, memasuki wilayah kompleks permasalahan.©