Saturday, October 10, 2009

Menghayati Sampai Akhir Hayat

"Celakalah mereka yang mengerjakan salat, tetapi lalai dalam salatnya."
--QS Al-Ma'un: 4


Saya pernah punya sahabat dahulu kala. Kami dipersatukan oleh minat yang sama ketika mulai menyusun skripsi. Saya dan dia, bagaimanapun, seperti langit dan bumi. Dia tampan, saya berantakan. Dia pintar, saya bodoh. Dia rajin salat, sedang saya tidak pernah, ditambah sukangomong jorok dan hobi mengoleksi gambar porno. Teman-teman yang lain, ketika menasihati saya, sering membanding-bandingkan diri saya dengan dia, dan agar saya meneladani sahabat saya itu, utamanya dalam hal ibadah. Dasar ndablek, semua nasihat masuk telinga kanan, keluar telinga kiri saya. Jadilah saya sasaran kritikan, kecaman dan cercaan.

Suatu ketika, keadaan berubah 180 derajat. Sahabat saya menghamili pacarnya dan melarikan diri dari tanggung jawabnya, malah menjalin kasih dengan cewek yang dikenal dengan baik oleh pacarnya. Pujian setinggi langit yang pernah dilontarkan kepadanya kontan luruh seiring perbuatannya yang sama sekali berseberangan dengan ketaatannya beribadah.

Itu satu cerita yang menandaskan bahwa ibadah belum tentu menjamin perbuatan baik. Kisah lainnya tentang kawan saya yang tewas oleh narkoba, padahal di lingkungannya ia terkenal taat beragama, berasal dari keluarga yang menegakkan pilar-pilar agama. Tidak perlu saya jelaskan panjang-lebar ihwalnya. Namun, ini bisa menjadi salah satu contoh bahwa ibadah atau relijiusitas tidak dengan sendirinya membuat seseorang dapat menghindarkan diri dari perbuatan-perbuatan yang merugikan diri sendiri maupun orang lain.

Anda keliru jika beranggapan bahwa saya sedang menghujat ibadah atau agama. Saya sedang menggugat praktik ibadah yang dewasa ini sudah kehilangan ruhnya. Orang tidak lagi menekuni agamanya dengan penghayatan ruhani (spiritual), menjadikan agama sekadar ilmu sebagaimana ilmu ekonomi, matematika atau ilmu-ilmu pengetahuan lainnya, di mana orang-orang yang pintar dalam bidang-bidang itu tidak dengan sendirinya dapat mengatasi persoalan yang menghambat pertumbuhan ekonomi, merintangi pembagian yang merata, serta menarik mundur suatu masyarakat.

Dahulu kala, agama merupakan ekspresi praktik spiritual untuk membersihkan hati dari kebodohan dan penyakit yang merusak diri sendiri dan masyarakat. Agama dipersembahkan oleh insan-insan kekasih Allah yang mendedikasikan hati, diri dan jiwa bagi kedamaian dan perdamaian, yang membuat manusia mampu berkontak langsung dengan kekuasaan Tuhan. Perkembangan zaman bukannya meningkatkan penghayatan ruhaniah dalam keberagamaan, malah menyingkirkannya. Parahnya, orang-orang yang bertahan dengan laku menghayati kepercayaan kepada Tuhan -- yang tidak tersedia dalam menu kebanyakan agama dewasa ini -- malah dianggap syirik dan disingkirkan. Lebih aneh lagi adalah pembagian antara 'agama' dan 'kepercayaan', membuat saya berpikir, jika demikian, agama tidak mengajarkan kepercayaan kepada Tuhan dong? Bagaimana keimanan bisa terbangun, bila kepercayaan saja nihil?!

Orang-orang ramai-ramai mengenakan atribut seakan itu aksesori trendi agar dibilang 'beragama'. Dan doa yang seyogianya permohonan tulus dari hati hamba yang merendah di hadapan Tuhannya, dirapal sebagaimana mantra penolak bala. Orang tidak lagi berdoa, memohon perlindungan Tuhan, melainkan berlindung kepada Doa Yang Maha Mujarab, kepada bangunan-bangunan (yang dianggap) suci, kepada busana dan aksesori 'agamis'. Padahal jalan kepada Tuhan adalah ruh dan kebenaran. Adalah ketiadaan ego dan materi. KepadaNya kita berbakti tanpa pamrih, tanpa kata, tanpa materi. KepadaNya kita berserah diri dengan sabar, ikhlas dan tawakal. Gratis, tanpa perantaraan calo -- yang kini coba dilakoni para ulama. Hanya antara pribadi yang merendah tak berdaya dan Sang Pribadi Sejati yang kekuasaanNya meliputi segala sesuatu.

Ke mana ya perginya pribadi-pribadi semacam itu? Barangkali tenggelam ke dalam dunia di mana ketaatan agama diukur dari banyaknya kata-kata bahasa Arab, Latin, Jawa, Sansekerta, Pali atau 'bahasa-bahasa khas agama' lainnya yang dikumandangkan; dari seberapa banyak manusia yang menyaksikan seberapa banyak ibadah ritual yang ditekuni; atau dari seberapa berlimpah aksesori dan atribut yang dikenakan.©

ADANYA INI KARENA ITU

Tak ragu aku menjadi miskin kalau aku bisa menemukan kekayaan sejati
Tak ragu gagal untuk menjadi sukses
Tak ragu aku sakit untuk bisa rasakan nikmatnya sehat
Tak ragu aku melakukan kesalahan agar dapat menggali kebenaran
Tak ragu aku menapaki jalan sesat, yang melaluinya aku dapat menyadari mana jalan yang lurus
Tak ragu aku meragukan Tuhan, yang dengan begitu kutemukan petunjuk jalan menujuNya

Toh adanya ini karena itu...


Surabaya, 1 Syawal 1430 H / 20 September 2009