Sunday, March 29, 2009

Kepercayaan yang Bikin Sehat

“Yang tidak diketahuinya tidak akan menyakitinya.”
—Pepatah


Tahun lalu, ada sebuah proyek penulisan naskah materi komunikasi korporat yang saya kerjakan, yang mensyaratkan agar versi bahasa Inggrisnya dikerjakan oleh native speaker. Saya pribadi merasa yakin dan secara teknis memiliki kemampuan untuk mengerjakannya sendiri, tanpa melibatkan native speaker. Saya berharap agar klien memberi saya kepercayaan untuk mengerjakan versi bahasa Inggrisnya, tetapi klien enggan memberikannya. Ia tidak mau menanggung risiko bilamana penulisan versi bahasa Inggrisnya tidak sesuai harapannya.

Kepercayaan. Hanya itu yang saya harapkan. Bila itu saya peroleh dari klien, saya pun akan memegangnya teguh, dengan mengerahkan segenap kualitas yang saya miliki. Tetapi, apa daya, klien bersikeras agar disediakan seorang native speaker.

Lalu, sebuah ide muncul di kepala saya. Klien saya pasti tipe luar negeri-minded yang mudah terjebak oleh anggapan dan kepercayaan subyektifnya. Saya katakan pada klien saya, bahwa saya punya kawan, seorang native speaker yang kebetulan berprofesi copywriter. Saya yakinkan klien saya bahwa kawan saya itulah yang akan mengerjakan versi bahasa Inggris dari naskah materi komunikasi korporat perusahaannya. Saya sudah siap-siap, seandainya si klien minta bertemu dengan kawan saya, maka saya akan menyeret salah seorang dari ekspatriat yang bejibun di Subud; ternyata klien saya tidak memintanya – kepercayaannya sudah mantap hanya melalui kata-kata saya.

Begitu pekerjaan tersebut tuntas, termasuk versi bahasa Inggrisnya, yang sebenarnya saya kerjakan sendiri, si klien sangat puas, bahkan menepuk-nepuk dadanya di hadapan rekan-rekannya, dengan mengatakan bahwa naskah bahasa Inggrisnya perfect, karena dikerjakan oleh seorang native speaker. Sebelum ia memintanya, saya katakan terlebih dahulu bahwa kawan saya sedang pulang ke negerinya dan akan kembali ke Indonesia tiga bulan lagi – di mana, pada saat itu, materi komunikasi korporat itu sudah dicetak dan diedarkan. Dalam hal ini, saya memang telah memanipulasi kepercayaan subyektif klien saya, namun untuk tujuan yang menguntungkan perusahaannya – ia tidak mesti membayar mahal, karena ‘produk dalam negeri’ pun sama bagusnya dengan produk luar negeri yang begitu dipuja-pujanya, dengan harga yang tersebut pertama lebih murah daripada yang tersebut kedua.

Kepercayaan. Tampaknya hanya itu yang bisa kita andalkan dalam membuat hidup kita mulus, atau sebaliknya. Kepercayaan terhadap apa pun yang kita inginkan. Kepercayaan bisa bikin sehat, atau sebaliknya bikin sakit, tergantung pada tingkat kemantapan dari kesediaan kita untuk mempercayai sesuatu. Saya tandaskan, kepercayaan itulah yang mengondisikan diri kita. Waktu saya kembali menetap di Jakarta, pada tahun 2005, saya sempat menempati sebuah kamar di rumah peninggalan orang tua saya, yang konon angker. Saya ‘setel’ kepercayaan saya, bahwa di tempat angker pun bersemayam kekuasaan Tuhan. Alhasil, selama saya menempati kamar tersebut, satu-satunya gangguan yang saya hadapi adalah nyamuk. Sebaliknya, orang-orang yang sangat percaya pada cerita seram yang dikumandangkan para pembantu rumah tangga perihal kamar tersebut malah sering diganggu makhluk dunia lain.

Baru-baru ini, saya mulai tekun berlatih olah napas dan olah gerak yang terpadu dalam suatu metode swaterapi (autotherapy) yang dinamakan bio energy power (BEP). Kreatornya, Harry Juhari Angga, adalah seseorang yang memiliki latar belakang pendidikan kedokteran, namun karena ia lulusan luar negeri dan tidak mengikuti persamaan di Indonesia, status dokternya tidak diakui. Bagi saya, itu tidak masalah. Yang penting adalah kepercayaan pasien terhadap kredibilitas pengetahuannya. Saya sendiri praktisi komunikasi pemasaran dan korporat yang latar belakang pendidikannya justru ilmu sejarah. Lagi-lagi, berkat kepercayaan – yang saya bangun lewat keahlian dan pengalaman selama belasan tahun – itulah klien-klien saya tidak pernah mempersoalkannya, malah mengagumi saya. Sejumlah klien saya sampai terbelalak mata mereka, saat usai memaparkan sebuah strategi komunikasi pemasaran yang sangat komprehensif, yang membuat mereka beranggapan bahwa saya alumnus program komunikasi sebuah universitas bergengsi di luar negeri, tetapi sebaliknya saya malah mengatakan bahwa kesarjanaan saya adalah di bidang sejarah dari Universitas Indonesia. Toh, kepercayaan mereka terhadap kemampuan dan keahlian saya tidak luntur.

Harry Angga mengatakan, dalam kaitan dengan swaterapi, bahwa kita kok bisa percaya pada Ponari, tetapi sulit percaya bahwa Tuhan telah melengkapi tubuh kita dengan kemampuan untuk menyembuhkan dirinya (self-healing), tanpa bantuan obat atau penanganan dokter. Kuncinya ada pada pikiran, sebagai tempat lahirnya kepercayaan: bila kita percaya bahwa kita sehat, maka sehatlah kita. Dan, demikian pula, sebaliknya.

Orang-orang yang datang pada Harry Angga untuk berlatih BEP datang dengan pemikiran bahwa ia seseorang yang memiliki latar belakang medis. Itu saja sudah menimbulkan pikiran positif pada diri orang-orang itu. Ditambah dengan latihan olah napas dan gerak yang masing-masing memiliki nilai penyembuhan, peserta langsung merasa sehat. Ini bukan keajaiban. Yang ajaib adalah kekuasaan Tuhan yang telah menciptakan tubuh manusia dan unsur-unsur pelengkapnya (jiwa, akal budi dan nafsu) sedemikian rupa, menjadikan manusia sebagai ciptaanNya yang sempurna!

Sejak berlatih BEP – dilengkapi dengan Latihan Kejiwaan Subud untuk menata sisi rohani saya – saya menjadi semakin sadar akan kesehatan jasmani (health conscious). Tuhan pun menuntun saya, lewat informasi dari saudara Subud saya, untuk menemukan buku karya Hiromi Shinya, MD, The Miracle of Enzyme: Self-Healing Program – Meningkatkan Daya Tahan Tubuh, Memicu Regenerasi Sel, Cetakan IV (Bandung: Penerbit Qanita-PT Mizan Pustaka, 2009). Buku tersebut seakan mengonfirmasi kepercayaan saya terhadap apa yang disampaikan oleh Harry Angga – bahwa Tuhan telah menyediakan penyembuh dalam tubuh kita.

Dokter Shinya menulis di halaman 19 bukunya: “Hanya tubuh yang dapat menyembuhkan dirinya sendiri. Seorang dokter menciptakan ruang bagi terjadinya penyembuhan tersebut.” Ia meyakini bahwa kunci keajaiban ini terletak pada enzim milik tubuh kita sendiri. Dokter Shinya bilang, bahwa dorongan energi yang positif, seperti yang muncul dari cinta, tawa dan kebahagiaan, dapat menstimulasi DNA (deoxyribonucleic acid) kita untuk memproduksi limpahan enzim pangkal tubuh kita – yaitu sang enzim ajaib yang beraksi sebagai bio-katalis untuk memperbaiki sel-sel kita. Kebahagiaan dan cinta dapat membangunkan suatu potensi jauh di luar pemahaman kita sebagai manusia saat ini, tambah dokter spesialis endoskopi bedah yang telah membantu 300.000 pasiennya memperoleh peluang kambuh kanker usus besar mereka hingga nol persen.

Jadi, terserah apa yang ingin Anda percayai. Namun, bila Anda ingin sehat, berpeganglah pada kepercayaan yang bikin sehat, yaitu kepercayaan kuat bahwa Tuhan sejak mula mengaruniai hidup Anda dengan cinta, tawa dan kebahagiaan.©

Saturday, March 28, 2009

Berkirim Surat Kepada Tuhan

“Hidup ini tidak lebih dari rangkaian jejaring yang saling terhubung.”
—Fritjof Capra (1936- ), The Web of Life – A New Scientific Understanding of Living Systems (1997)



Saat saya masih bersekolah dasar di Negeri Belanda antara tahun 1974-1978, setiap kali menjelang hari Sinterklaas, pada 5 Desember setiap tahunnya, para murid (utamanya kelas 1-3, sedangkan kelas 4-6 dianggap sudah tidak percaya Sinterklaas) diminta untuk menulis surat kepada Sinterklaas, dalam rangka untuk menyampaikan permintaan masing-masing murid. Pada 5 Desember, Sinterklaas (yang diperankan oleh guru atau orang tua murid dengan kostum uskup berwarna serba merah dan berjenggot putih) akan datang ke kelas 1-3 diiringi dua Piet Hitam, dan memberi pemenuhan atas masing-masing permintaan selama itu dapat dipenuhi – jika tidak dapat, Sinterklaas akan menggantinya dengan wejangan.

Ingatan akan masa kecil saya yang masih sangat percaya dengan tokoh Sinterklaas kembali terlintas di benak saya ketika saya membaca buku Robert Scheinfeld, The 11th Element (Unsur Ke-11) – Mengaktifkan Kekuatan Batin Anda untuk Menderaskan Kesuksesan dan Kekayaan (Jakarta: Serambi, 2005). Melalui bukunya yang berjudul asli The 11th Element: The Key to Unlocking Your Master Blueprint for Wealth and Success (New Jersey: Wiley & Sons, Inc., 2003), Scheinfeld menyingkap rahasia bahwa, seperti kata fisikawan Fritjof Capra di atas, hidup ini merupakan rangkaian jejaring tak kasat mata (invisible network), yang akan membukakan bagi kita akses kepada orang-orang, gagasan, sumber daya, teknik dan strategi yang relevan dengan apa yang kita kehendaki untuk terwujud.

Melalui buku setebal – versi terjemahan Indonesianya – 295 halaman (termasuk lampiran, catatan kaki, ucapan terima kasih dan profil pengarangnya) ini, pebisnis yang membagi-bagi rahasia Unsur Ke-11-nya setelah ia berhasil bangkit kembali pasca kebangkrutannya dengan terlilit hutang 153.000 dolar mengajak kita mengenal sang eksekutif-puncak-batin serta berkontak secara berkelanjutan dengannya melalui surat. ‘Eksekutif-puncak-batin’ adalah sebutan subyektif Scheinfeld bagi apa yang kita identifikasi sebagai ‘Tuhan’, karena dalam suatu interviu terungkap bahwa pembangun Blue Ocean Software ini tidak sependapat dengan konsepsi Tuhan dari kalangan agama, tetapi mengakui bahwa hubungan langit dan bumi tidak sesederhana bayangan kita. Penggambaran Scheinfeld mengenai eksekutif-puncak-batin (inner CEO) memberi saya kesan bahwa ia sedang berbicara mengenai Tuhan yang saya kenal melalui ajaran agama saya maupun lewat pengalaman-pengalaman spiritual saya. Coba lihat penjelasannya di halaman 33: “[E]ksekutif-puncak-batin Anda punya akses ke pengetahuan dan sumber daya yang jauh melampaui pengetahuan dan sumber daya yang ada dalam kesadaran Anda. Anda tidak pernah sendirian dalam usaha menggapai bisnis yang sukses dan kekayaan, meskipun Anda kerap merasa demikian. Eksekutif-puncak-batin dan jaringan tak kasat mata Anda membentuk suatu sistem pendukung yang bisa Anda masuki untuk membagi beban Anda. Anda akan mendapat bantuan di setiap langkah tersebut.”

Apakah hakikat dari Unsur Ke-11 itu? Dan bagaimana Unsur Ke-11 itu dapat membantu kita menggapai kesuksesan dan kekayaan? Menurut Scheinfeld, selama ini kita terbiasa dengan ekspresi bahwa yang dapat mewujudkan keberhasilan usaha adalah niat dan keyakinan semata, hingga muncul ungkapan “di mana ada kemauan, di situ ada jalan”, yang diterima sebagai kebenaran mutlak. Namun, ketika zaman terus berkembang dan persaingan pasar semakin keras, niat dan keyakinan saja tidaklah cukup. Ungkapan para guru Rahasia yang pesan-pesannya terangkum dalam buku The Secret – Rahasia (2007)-nya Rhonda Byrne menegaskan tentang berlakunya hukum daya tarik. Hukum ini ditetapkan Scheinfeld sebagai unsur ketiga – yang sekaligus ia ragukan khasiatnya. “Hukum daya tarik menjamin bahwa Anda akan selalu menarik orang-orang dan situasi ke kehidupan Anda, selaras dengan pemikiran dominan Anda. Tetapi, seperti juga niat dan keyakinan, kita semua punya sangat banyak pemikiran-pemikiran dominan dan harapan-harapan (positif dan negatif) yang tidak tertarik ke kehidupan kita,” tulis Scheinfeld di halaman 54.

‘Menetapkan tujuan’ diletakkan Scheinfeld sebagai unsur ke-4. Pada saat yang sama ia mengutarakan keraguannya bahwa unsur ini memiliki keampuhan tinggi, karena kenyataannya tingkat kegagalan untuk menetapkan tujuan sangat tinggi. Keteladanan, penciptaan rencana yang jelas dan terperinci, tindakan besar, ketekunan, visualisasi, dan ketegasan secara berurutan menjelaskan unsur-unsur ke-5 hingga ke-10. Semuanya dirasa Scheinfeld belum cukup tanpa ada peran Unsur Ke-11 pada masing-masing unsur. Yang dimaksud Scheinfeld dengan Unsur Ke-11 adalah peran luas dan mendalam dari eksekutif-puncak-batin dan jaringan tak kasat mata.

Sejak permintaan Anda diajukan kepada eksekutif-puncak-batin hingga terwujud harus melalui langkah-langkah bertahap yang memberi gambaran bahwa kontak dengan Tuhan (atau apa pun yang Anda percayai) dapat ditempuh dengan cara yang sangat sederhana, sebagaimana Anda berhubungan dengan atasan Anda di tempat kerja Anda – bagaimanapun, Anda harus tetap memelihara tata krama. Scheinfeld menganjurkan tujuh langkah berikut ini untuk Anda tempuh, agar Anda bisa mencapai hasil yang mencengangkan: 1) Memperluas dan memastikan ‘hasil ideal’ Anda; 2) Menyusun permohonan bantuan untuk menciptakan hasil yang optimal; 3) Mengirimkan permohonan Anda kepada eksekutif-puncak-batin Anda untuk disetujui; 4) Menerima persetujuan; 5) Menggunakan jaringan tak kasat mata untuk meminta bantuan; 6) Melaksanakan tanggung jawab dan membuat keputusan serta rencana; dan 7) Menunjukkan hasil.

Untuk berkontak secara berkelanjutan dan nyambung Scheinfeld menganjurkan metode yang serupa dengan kisah saya dengan Sinterklaas di atas. Anda dipersilakan menulis surat kepada eksekutif-puncak-batin, yang lewat hal itu Anda mengajukan permohonan agar Dia, sang eksekutif-puncak-batin, mengabulkannya. Contoh-contoh surat permohonan yang menurut Scheinfeld berpotensi besar untuk diterima dan memperoleh pengabulan ia berikan pada halaman 98 hingga 121. Seperti halnya surat permohonan, maka Anda harus memberi latar belakang yang menggambarkan misi dan tujuan hidup Anda, serta maksud dan tujuan Anda mengajukan permohonan tertentu. Keinginan Anda harus jelas. Tandas Scheinfeld di halaman 81: “Semua permohonan diterima apa adanya. Jadi, Anda harus membuat permintaan dengan tepat. Kalau tidak, eksekutif-puncak-batin Anda akan melihat permohonan Anda (sebagaimana yang dilakukan oleh orang lain) dan secara tidak langsung mengatakan, ‘Saya tidak tahu hal yang sedang Anda bicarakan,’ dan melemparkan permohonan Anda ke keranjang sampah.”

The 11th Element – Unsur Ke-11 cukup mencerahkan, membangkitkan semangat berusaha yang mungkin telah pudar karena apa yang diusahakan tak kunjung mewujud. Bagi yang penasaran ingin sekali membacanya, namun belum memiliki dana cukup untuk membelinya, barangkali bisa mulai dengan berkirim surat kepada Tuhan dengan mengajukan permohonan tersebut. Mudah-mudahan dikabulkan.©

Tuesday, March 24, 2009

“Cermin-cermin di Dinding, Siapakah yang Paling…?”

“Hidup hanyalah sebuah cermin, dan apa yang kamu lihat di luar sana,
harus kamu lihat terlebih dahulu di dalam dirimu.”
—Wally “Famous” Amos (1936- )



Dalam suatu obrolan dengan seorang saudara Subud, pasca rapat Pengurus Nasional PPK Subud Indonesia, bertempat di ruang rapat Sekretariat Pengurus Nasional, Wisma Indonesia, kompleks Wisma Subud, Jl. RS Fatmawati 52, Jakarta Selatan, pada 17 Maret 2009 yang lalu, terlontar kutipan dari ceramah pendiri Subud, Muhammad Subuh Sumohadiwidjojo, yang beliau sampaikan di New York, pada 3 Mei 1959. Kutipan itu menegaskan bahwa tidak ada manusia yang tidak berguna, karena manusia telah dibekali Tuhan dengan suatu ‘konstruksi hidup’, yang bisa menunjukkan jalan hidup masing-masing, ke mana dan bagaimana seharusnya jiwa bekerja dan bertindak.

Pertanyaannya, mengapa masih saja ada orang yang tidak bisa menyejahterakan dirinya, lahir dan batin? “Jangan-jangan, ada orang-orang yang diciptakan Tuhan memang untuk menjadi tidak berguna,” ujar saya. Tetapi begitu saya renungkan lebih jauh, orang-orang yang ‘tidak berguna’ itu toh juga berguna, yaitu mengingatkan kita bahwa ketidakbergunaan itu menyusahkan diri sendiri maupun orang lain. Ia bisa kita pergunakan sebagai cermin pembanding, agar kita bertekad tidak akan menjadi seperti dirinya.

Saya baru menyadari bahwa kehadiran orang lain merupakan cermin bagi kita sejak saya senantiasa bertanya-tanya, mengapa saya selalu menjumpai orang yang berkelakuan buruk. Salah seorang saudara Subud saya menjauhkan dirinya dari lingkungan Subud, karena di situ ia kerap menemukan orang (anggota Subud) yang berkelakuan tidak baik, dan heran karena ia selalu saja berhadapan dengan orang-orang yang bertingkah laku buruk. Tiba-tiba saja saya menemukan sabda Muhammad SAW, yang berbunyi: “Seorang mukmin adalah cermin bagi mukmin lainnya.”

Di situlah saya menginsafi diri saya. Jangan-jangan, karena saya selalu berpikiran negatif, maka lingkungan pun mencerminkan pikiran negatif saya. Segala sesuatu yang saya lihat dan jumpai pasti tidak menyenangkan hati saya; hati saya bawaannya dongkol melulu, tidak puas, dan saya pun terjangkiti stres.

Ini sebuah fenomena alami. Rhonda Byrne dalam The Secret – Rahasia (Jakarta: Gramedia, 2007) menyebutnya Hukum Tarik-Menarik (Law of Attraction), sementara Robert Scheinfeld melalui The 11th Element (Unsur Ke-11) – Mengaktifkan Kekuatan Batin Anda untuk Menderaskan Kesuksesan dan Kekayaan (Jakarta: Serambi, 2005) menisbahkan fenomena ini pada eksistensi suatu jejaring tak kasat mata (invisible network). Pikiran atau perbuatan kita akan cenderung menjadi magnet yang menarik keadaan-keadaan atau benda-benda yang relevan dengan yang ada dalam pikiran, atau yang mencerminkan perbuatan kita di masa lalu dan masa sekarang.

Roger von Oech pada halaman 33 Whack – Pukulan untuk Merangsang Kreativitas dan Ide Baru (Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer, 2008) berteori: “Pandanglah sekeliling Anda dan temukan empat benda yang mengandung unsur ‘merah’ di dalamnya. Dengan sikap mental ‘merah’ tadi, Anda akan mendapati bahwa warna merah akan bermunculan di mana-mana: buku telepon merah, bekas luka kemerahan di jari Anda, motif merah di kertas dinding Anda, dan seterusnya. Sama juga halnya bila Anda baru mempelajari istilah baru, Anda akan mendengarnya sampai delapan kali dalam tiga hari berikutnya. Setelah membeli mobil baru, Anda mungkin juga melihat mobil sejenis di mana-mana. Ini karena orang mendapatkan apa yang mereka cari. Bila Anda mencari keindahan, Anda akan mendapatkan keindahan. Bila Anda mencari konspirasi, Anda akan mendapatkan konspirasi. Semua ini adalah tentang menetapkan saluran mental Anda.”

Teori von Oech di atas menjelaskan fenomena yang saya alami sejak menempuh jalan spiritual, di mana saya mulai menyukai angka 7 (yang sering dianggap angka keramat oleh para pejalan spiritual). Saya pun kerap menjumpai – juga saat menyadari tentang kehidupan saya sebelum berspiritual – angka 7 atau mengandung penjumlahan yang menghasilkan 7. Angka-angka pada pelat nomor sepeda motor saya adalah ‘2212’, yang jika dijumlahkan (2+2+1+2) menghasilkan 7. Tanggal 19 Januari lalu, ketika menumpang pesawat Garuda Indonesia ke Palangkaraya, Kalimantan Tengah, nomor kursi yang saya duduki adalah 14 (7+7), dan nomor kursi ketika terbang kembali ke Jakarta dua hari kemudian adalah 17. Rumah saya beralamat di Jl. Pondok Jaya VII No. 14, sedangkan nomor rumah atau kantor dari saudara-saudara Subud saya mengandung angka 7. Angka 7 terkandung dalam nomor semua kamar hotel yang saya inapi saat bepergian keluar kota. Nomor mahasiswa Universitas Indonesia saya adalah 0787040037, sedangkan nomor GSM saya, yang diperoleh istri saya secara acak, adalah 0xxx-xx7-70-700. Bahkan nomor rekening saya berbuntut angka 7.

Simpelnya, lingkungan kita akan mencerminkan sikap dan/atau tingkah laku serta pemikiran kita. “Jika tindakan saudara baik dan benar, orang lain otomatis akan mencintai dan meletakkan kepercayaannya kepada saudara. Jika orang lain masih membenci kita, boleh saja kita menyalahkan mereka, tetapi sebenarnya kesalahan terletak pada diri kita sendiri. Ini berarti, sikap orang lain terhadap kita hanya mencerminkan pribadi kita. Jika orang membenci kita, itu karena belum ada cinta pada sesama dalam diri, benih cinta pada sesama belum ada atau jika memang ada masih samar-samar,” kata Muhammad Subuh pada tahun 1971. Ini menegaskan kebenaran dari ungkapan populer bahwa bila kita ingin mengubah perilaku dan sikap lingkungan kita, kita harus memulainya dengan mengubah diri kita sendiri terlebih dahulu.

Nah, coba Anda bayangkan dampaknya apabila kita semua berpikiran positif, serta secara tulus menghendaki kedamaian hidup dan kesejahteraan lahir-batin yang berkelanjutan. Mungkin semua itu akan datang menghampiri kita dan terus-menerus menempel pada diri kita. Siapa tahu!©

Wednesday, March 18, 2009

Mentalitas Si Putih Besar

“Kemalasan adalah keadaan yang menyenangkan namun menyusahkan;
kita harus melakukan sesuatu untuk menjadi bahagia.”
—Mahatma Gandhi (1869-1948)

“Kemalasan itu manis, tetapi akibatnya pahit.”
—Voltaire (1694-1778)


Hewan favorit saya adalah hiu putih besar (great white shark, Carcharodon carcharias). Namun, saya tidak pernah berharap untuk memeliharanya. Menurut berbagai informasi ilmiah, hewan laut yang umumnya dapat mencapai panjang 6 meter dan berat badan 2.250 kilogram itu tidak bisa bertahan hidup lama dalam pemiaraan, seberapa pun khusus dan canggihnya akuarium yang disediakan untuknya. Hingga saat ini, yang tercatat paling lama dalam piaraan adalah seekor hiu putih besar betina yang ditangkap di lepas pantai San Buenaventura, Kalifornia, AS. Hiu itu disimpan dalam akuarium raksasa selama 198 hari, sebelum akhirnya dilepas ke laut pada Maret 2005.

Si Putih Besar adalah ikan pemangsa terbesar di dunia. Sebagai pemangsa, ia gemar berburu. Ia biasa mencari makan, bukan diberi makan. Dengan demikian, pemiaraan mematikan naluri pemburunya, sedangkan ia tak dapat segera beradaptasi dengan keadaan di mana ia diberi makan tanpa harus susah-payah berusaha mengejar santapannya. Akhirnya, ia pun akan mati.

Ketika membaca mengenai sifat Si Putih Besar, terbayang oleh saya bilamana sifat alami tersebut terdapat pada diri manusia. Saya membayangkan manusia yang oleh Sang Pencipta telah diberi potensi untuk berusaha malah membiarkan dirinya digerogoti oleh kemalasan. Makhluk yang telah dibekali oleh akal, energi dan seabrek potensi oleh Tuhan itu, malah mengabaikan pemberdayaan unsur-unsur itu, dan, sebaliknya, malah bergantung pada belas kasihan orang lain, atau pada pemberian orang lain. Saya tertawa geli saat membayangkan manusia-manusia semacam ini akhirnya mati, terbunuh oleh dirinya sendiri yang menyalahi kodrat dan iradat (kehendak) Ilahi, bahwasanya manusia mesti melakukan sesuatu untuk kesejahteraan hidupnya.

Ada sejumlah hambatan yang membuat manusia pada umumnya malas untuk mengikhtiarkan sesuatu bagi kemaslahatan hidupnya. Selain takut gagal, juga merasa tidak berpengalaman, takut mencoba, merasa tidak punya pendidikan yang cukup untuk mengerjakan suatu bidang, tidak mengerti, merasa tidak punya modal (uang) yang cukup, ingin terima beres saja, atau memang karena kesukaannya adalah menjadi benalu bagi orang lain. Semua alasan ini bertentangan dengan kenyataan yang sesungguhnya terdapat pada diri kita semua, tak terkecuali penderita cacat fisik dan mental, atau orang yang telah uzur sekali pun. Kemalasan menunjukkan satu bukti lagi bahwa dalam mentalitas manusia acap kalah dari hewan. Akibat yang ditimbulkan oleh kemalasan manusia memang pahit, namun tidak sepahit kematian, seperti yang dialami hewan seperti Si Putih Besar.

Pada diri manusia, seperti diungkap oleh Dr. Myles Munroe dalam bukunya, Releasing Your Potential – Menyingkapkan Diri Anda yang Tersembunyi (Jakarta: Penerbit Immanuel, 2007), ‘terperangkap’ potensi-potensi diri yang luar biasa – yang bahkan melampaui bayangan kita tentang apa yang dapat kita lakukan. Potensi-potensi ini menuntut untuk disingkapkan, yaitu melalui tindakan kita, upaya kita, yang berdampak pada diberdayakannya akal dan energi kita. Sekali Anda mengetahui potensi macam apa yang Anda miliki, Anda pun akan seperti saya: merasa aneh bila menyaksikan orang yang malas berusaha karena hambatan-hambatan yang saya sampaikan di atas.

Pada sejumlah agama diajarkan bahwa kemalasan dapat menceburkan umat ke api neraka. Menurut Dr. Munroe, yang kebetulan juga seorang ‘gembala senior’ dari Bahamas Faith Ministries International, dalam ajaran Kristen kemalasan merupakan ciri orang yang tidak beriman. Tulis Dr. Munroe di halaman 102 bukunya: “Iman adalah katalisator yang membuat segalanya terjadi. Iman mengangkat Anda melewati bukti nyata dari hidup Anda dan memberdayakan Anda untuk membawa terang dari kegelapan. Ingatlah, Anda akan menerima apa pun yang Anda percayai. Jika Anda mengharapkan masalah, Anda akan memperolehnya. Jika Anda mempercayai Tuhan dan mengharapkan Dia untuk bekerja di tengah keadaan Anda yang menekan, cepat atau lambat Anda akan melihat bukti dari hadiratNya.”

Dalam agama Islam sebenarnya juga demikian. Bahkan Nabi Muhammad SAW menyabdakan bahwa kerja adalah ibadah. Dengan demikian, seorang muslim yang rajin bekerja dan berusaha bagi kesejahteraan dirinya akan ‘mencium harum surga’. Namun yang senantiasa ditekankan oleh mayoritas guru agama malah sebaliknya, yaitu bahwa orang yang tidak menyantuni (yang hampir selalu diterjemahkan sebagai ‘memberi sedekah dalam bentuk uang’) orang miskin diganjar dengan neraka. Pernyataan ini seolah berpihak kepada kemalasan, karena secara umum telah diketahui bahwa penyebab utama seseorang menjadi miskin adalah kemalasan dirinya! Tidak mengherankan, bila kemudian banyak yang memanfaatkan kesalahkaprahan ini sebagai kesempatan untuk mengemis sumbangan uang dari orang-orang yang mampu secara finansial, baik untuk sekadar makan setiap hari maupun untuk membangun fasilitas pelengkap ibadah. Menyaksikan hal ini, saya membayangkan pelakunya sebelum diceburkan ke api neraka terlebih dahulu dicemplungkan ke laut supaya dimangsa Si Putih Besar.©

Friday, March 13, 2009

Pentingnya Integritas


"Integritas tanpa pengetahuan adalah lemah dan sia-sia, dan pengetahuan tanpa integritas adalah berbahaya dan mengerikan."
—Samuel Johnson (1709-1784)



Beberapa minggu yang lalu, saya bercerita pada salah seorang saudara Subud saya tentang betapa sibuknya saya dengan proyek-proyek yang sedang saya kerjakan. Saya ingin sekali melepas salah satunya, atau salah duanya, tetapi ada rasa khawatir pada diri saya, bilamana hal itu malah membuat saya kehilangan rezeki. Saya ingin bersikap realistis: tak mungkin saya tangani sendiri proyek-proyek tersebut, apalagi tenggat waktunya acapkali hampir bersamaan.

Saudara Subud saya, yang pernah berkarir cukup lama di dunia periklanan, itu memberi masukan: “Kita seringkali tidak mau jujur pada diri sendiri maupun pada orang lain. Potensi dan kemampuan kamu tidak diragukan lagi, tapi yang lebih utama adalah apakah kamu berani jujur mengatakan ‘tidak’ pada klien-klien kamu? Kebanyakan kita tidak berani, lho. Selain takut kehilangan rezeki – padahal rezeki datangnya dari Tuhan – juga takut dianggap kita tidak mampu.” Keberanian dan kejujuran itulah yang membentuk kata ‘integritas’.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi 1996, ‘integritas’ berarti ‘mutu, sifat, atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan’. Integritas adalah satu kata yang mencakup sejumlah nilai yang kita pegang teguh, dan menjadi pedoman bagi tindakan kita. Dalam melaksanakan pekerjaan saya, misalnya, saya berpegang pada nilai-nilai kreativitas, profesionalisme, kualitas, dan kejujuran. Keempat nilai tersebut memberi bentuk pada integritas saya selaku seorang copywriter. Saya pun menuntut hal yang sama dari mitra-mitra kerja serta klien-klien saya, sebab walaupun klien yang membayar saya, bukan berarti mereka berhak memperlakukan saya seenaknya.

Kata-kata yang diucapkan saudara Subud saya itu terngiang-ngiang kembali ketika kini saya direpotkan oleh proyek annual report (annual repot atau repot tahunan, kata para copywriter dan art director memplesetkannya) dari PT Indo Tambangraya Megah Tbk. (ITM), sebuah perusahaan pertambangan batubara yang persentase terbesar sahamnya dimiliki Thailand. Jadwal kerja yang tidak teratur (bahkan melanggar ketentuan lini waktu yang sudah disepakati), perbuatan klien yang mengganti waktu dan tempat pertemuan seenaknya – seolah saya tidak punya urusan dan jadwal lain, ketidakmengertian klien terhadap sejumlah ketentuan ARA (Annual Report Award), serta sikap tidak professional dari tim komunikasi korporatnya (mereka merevisi hasil tulisan saya bersama-sama saya, tetapi begitu disalahkan atasannya mereka menimpakannya ke saya, seolah itu kesalahan saya semata).

Integritas merupakan salah satu dari empat nilai (selain ‘inovasi’, ‘sinergi’ dan ‘peduli’) yang membentuk norma dan etika dari perusahaan yang sejak tahun 2007 tercatat di Bursa Efek Indonesia itu, namun dalam proyek laporan tahunan sekarang ini justru oknum-oknum komunikasi korporatnya tidak dapat menunjukkan integritas sama sekali. Coba lihat, penjabaran nilai ‘integritas’ ITM, seperti tercantum dalam laporan tahunannya, berikut ini: “Setiap orang diharapkan memiliki etika, bersikap jujur dan terbuka. Mereka dapat dipercaya dan memegang teguh komitmen, disiplin, pantang menyerah serta mempunyai integritas tinggi.” Bagaimana bisa diharapkan publik percaya dengan apa yang dikomunikasikan di dalam laporan tahunannya, jika tindak-tanduk karyawan perusahaan bersangkutan tidak mencerminkannya?! (Nyatanya, tidak selamanya apa yang dijabarkan di dalam annual report, utamanya menyangkut budaya perusahaan dan tata kelola perusahaan (good corporate governance), benar-benar diterapkan.)

Saya sempat menjadi sangat marah atas sikap klien yang sebenarnya meruntuhkan integritas mereka sendiri itu. Lalu, di titik didih, suara saudara Subud itu menggema di benak saya: “…Tapi yang lebih utama adalah apakah kamu berani jujur mengatakan ‘tidak’ pada klien-klien kamu?” Suara itu memperteguh pendirian saya untuk menegakkan integritas saya. Percuma saya marah-marah di belakang, toh klien atau agency yang mempergunakan jasa saya tidak mengetahuinya – serta tidak akan mengubah apa pun. Saya harus berani mengatakan ‘tidak’! Bila perlu, saya mundur dari pengerjaan proyek itu atau kontrak saya dibatalkan saja. Biarlah klien mencari copywriter lain yang sama-sama tidak punya integritas.

Ketakutan akan kehilangan sesuatu yang berharga biasanya yang mendorong seseorang untuk mengorbankan integritasnya. Khawatir tidak mendapat upah atau terancam di-PHK acap membuat pekerja mengabaikan integritas pribadinya, dan ‘bersedia’ diperlakukan semena-mena. Cemas bilamana suami tidak akan mencintainya lagi, istri akan menanggalkan integritasnya dan bersikap pura-pura. Integritas tak jarang dinomorduakan apabila sebuah perusahaan terancam kehilangan order atau keuntungan dikarenakan menolak melakukan hal-hal yang justru bertentangan dengan prinsip-prinsip integritasnya – biasanya dilakukan oleh perusahaan-perusahaan ‘rindu order’.

Kepalsuan merajalela karena kita cenderung membiarkan integritas kita terkikis akibat situasi dan kondisi yang muncul bertentangan dengan keinginan kita. Kebanyakan kita tidak percaya diri, serta tidak yakin Tuhan akan memberikan pertolongan. Padahal integritas hanya dapat diperkokoh oleh landasan iman dan takwa yang kuat, serta keyakinan yang teguh akan potensi dan kemampuan kita. Para nabi dan utusan Tuhan menjadi pribadi-pribadi yang memancarkan kewibawaan, dihormati seluruh umat manusia, serta memiliki kesaktian yang mencengangkan juga berkat integritas mereka yang teguh. Melalui mereka saja, kita bisa saksikan langsung pentingnya arti integritas.©

Sistem Peringatan Dini


"Banyak dari kita yang pernah mendengar peluang mengetuk pintu kita, tetapi pada saat kita melepas rantainya, membuka grendelnya, memutar kuncinya, dan mematikan alarm anti-maling -- peluang itu sudah pergi."
Anonim


Kita sering mendengar, dan selalu saja dikatakan, bahwa manusia lebih tinggi derajatnya daripada hewan, semata karena manusia berakal, sedangkan hewan bersandar pada nalurinya. Namun, dalam praktiknya, hewan tidak bisa bertahan hidup jika ia tidak mempergunakan nalurinya, sementara manusia acapkali mengabaikan akalnya. Bagi hewan, tidak penting jika dirinya disejajarkan dengan manusia. Sebaliknya, banyak manusia malah berperilaku seperti hewan.

Kecenderungan berperilaku seperti hewan memang sebaiknya dihindari. Tetapi ada satu sisi dari sifat hewan yang ada baiknya kita contoh. Hewan itu mengandalkan nalurinya; dengan kata lain, perasaannya. Itu membuat hewan cenderung lebih peka terhadap dirinya maupun lingkungannya. Beberapa minggu sebelum gempa bumi besar (6,6 skala Richter) melanda Los Angeles, Amerika Serikat, pada 17 Januari 1994, sejumlah hewan yang menghuni kebun binatang kota itu sudah menunjukkan kegelisahan yang pada waktu itu susah dijelaskan penyebabnya. Kecoa dan tikus tanah banyak yang keluar dari sarangnya dan berkeliaran di permukaan tanah. Bila saja kita peka dengan perilaku sensitif hewan, ia dapat kita jadikan sistem peringatan dini terhadap ancaman bencana alam.

Tubuh kita, Anda sadar atau tidak, memiliki sistem peringatan dini, sehingga apabila kita mau merasakannya serta mengikuti petunjuknya, kita berpotensi dapat mencegah penyakit atau menghindari peningkatan tarafnya. Bibir dan/atau pipi saya cenderung membengkak apabila saya keletihan,atau kelewat banyak mengonsumsi makanan atau minuman yang berisiko meningkatkan kolesterol buruk atau gula di dalam tubuh saya. Bila sudah demikian, saya akan beristirahat dan menjauhi makanan dan minuman yang berisiko bagi kesehatan saya. Pinggang kiri saya sering menebar rasa nyeri apabila saya terlalu banyak duduk dan terlalu sedikit minum air putih. Tanda-tanda peringatan dininya demikian jelas dikomunikasikan oleh tubuh kita, sehingga hanya orang tolol saja yang mengabaikannya!

Di samping kepekaan secara lahiriah, manusia pada dasarnya juga dikaruniai kepekaan rasa seperti halnya hewan. Namun, karena kita lebih mengutamakan pemberdayaan pikiran, sisi rasa kita menjadi kurang terlatih kepekaannya. Anak-anak usia 0 sampai 7 tahun, konon, memiliki kepekaan rasa yang kuat dan tajam. Keponakan saya, waktu masih berusia 3 tahun pernah menunjukkan gejala yang cukup membuat bulu kuduk berdiri. Ia menunjuk-nunjuk ke salah satu sudut ruangan yang kosong, dan mengatakan bahwa Eyang Bapak dan Eyang Mama (kedua orang tua saya) ada di sudut itu. Padahal pada saat itu kedua orang tua saya sudah tiada.

Mengasah kepekaan rasa amat berguna bagi segala segi kehidupan kita. Apalagi bila diterapkan sebagai sistem peringatan dini. Akan banyak tertolong diri kita. Kita akan bisa merasakan diri orang lain, mengerti harapan dan kebutuhannya, dan bertindak atas dasar itu. Bila teman kita membutuhkan bantuan kita, kita tak perlu menunggu pemberitahuannya terlebih dahulu untuk turun tangan. Kesigapan kita akan menghangatkan persahabatan kita dengan teman-teman kita. Salah seorang saudara Subud saya, seorang account executive di sebuah biro iklan, pernah memanfaatkan kepekaan rasanya -- yang kami, di Subud, peroleh melalui Latihan Kejiwaan -- untuk memahami apa yang diperlukan bagi merek kliennya, sementara si klien sendiri masih bingung dengan apa yang mesti dilakukannya, sehingga mengundang sejumlah biro iklan untuk mengikuti pitch. Saudara Subud saya itu berhasil membuat biro iklannya memenangkan pitch itu semata karena dia mampu membantu kliennya memahami apa yang seharusnya dilakukannya untuk mengkomunikasikan mereknya.

Melatih kepekaan rasa cukup mudah. Syaratnya, kita mesti hidup dengan senantiasa mengaktifkan kesadaran. Dengan diri kita sadar secara penuh, kita cenderung mudah memperhatikan lingkungan sekitar kita dan belajar darinya. Kita juga harus aktif terlibat dalam hidup kita (actively engaged with life), misalnya melalui pekerjaan kita. Pekerjaan saya adalah menulis. Baik ada pesanan atau tidak, saya tetap menulis -- menulis apa saja. Saya perhatikan dan merasakan diri saya setiap kali menulis. Saya rasakan setiap kata dan kalimat. Lambat-laun, saya memperoleh kepekaan rasa ketika menulis atau membaca tulisan orang lain; saya tahu mana tulisan yang dikerjakan dengan pikiran yang kacau, dan mana yang dengan rasa diri yang tenang. Sistem peringatan dini saya berulang kali memberitahu saya tentang kualitas muatan sebuah buku bahkan sebelum saya sempat membaca buku tersebut.

Dari pengalaman-pengalaman yang saya lalui, saya berkesimpulan, betapa banyak konflik-konflik yang bisa diredam, penyakit-penyakit yang bisa dicegah, bisnis-bisnis bisa berkembang secara sehat, serta problema hidup kita dapat dinetralisasi dengan kita menghidupkan sistem peringatan dini kita setiap saat.©

Sengsara Membawa Nikmat


Pada Jum’at siang, 27 Februari 2008, saya dan istri menikmati dim sum all you can eat di restoran Golden Ming yang berada di bawah atap Hotel Acacia, Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat.

Meski all you can eat, pengunjung menerima sajiannya secara bertahap, tidak langsung semuanya. Sajian tahap pertama terhidangkan di meja kami kurang lebih lima belas menit sejak kami duduk di meja yang kami pilih. Kami menikmatinya tanpa kendala, dan dengan sendirinya kami merasa puas. Kami lantas pesan untuk tahap keduanya, lewat waiter yang rupanya masih trainee. Karuan saja, pesanan tahap kedua ini tidak tiba di meja dalam waktu yang cukup lama. Namun, saya dan istri begitu asyik mengobrol sampai nyaris lupa bahwa pesanan kami belum datang juga.

Bagaimanapun, sengsara juga menunggu pesanan tahap kedua datang. Yang tiba-tiba menyadarkan masing-masing dari kami bahwa pesanan tahap kedua belum datang adalah bunyi keroncongan yang berasal dari perut kami. Pada saat itu pula, pelayan yang lebih senior muncul menanyakan, apakah ia sudah boleh menghidangkan menu dim sum tahap kedua. Kami jelaskan padanya, bahwa pesanan itu sudah kami ajukan sejak kurang lebih setengah jam sebelumnya kepada si pelayan trainee. Si pelayan senior langsung meminta maaf, karena hal itu – membuat pelanggan menunggu terlalu lama – sesungguhnya tidak boleh terjadi. Selain memanggil si pelayan trainee, si pelayan senior berulang kali menegaskan pada kami, bahwa pesanan kami akan segera datang dan lengkap bersama pesanan tahap berikutnya.

Saat lidah saya memperoleh kelezatan luar biasa dari hidangan menu dim sum tahap kedua itu, saya beroleh kepahaman: Inilah sebabnya agama-agama dan tradisi-tradisi spiritual mengajarkan kita untuk mengendalikan diri dalam segala hal – buruk maupun baik. Saya berpikir, seandainya tadi kami langsung menerima pesanan tahap kedua, sementara perut kami belum mencerna benar kelompok dim sum tahap pertama, mungkin tahap kedua itu tidak akan terasa lezat. Tadinya saya cukup sengsara karena lidah saya sudah kepalang merindukan rasa dim sum. Tetapi rupanya sengsara itu membawa nikmat.

Sambil mencomot dim sum dengan sumpit dan membawanya ke dalam mulut, pikiran saya menerawang ke hal-hal lain yang bila dilakukan secara berlebihan, tidak terkendali, malah menimbulkan celaka atau akibat yang tidak baik. Bahkan kegembiraan atau kesenangan, bila berlebihan, bisa membawa dampak yang tidak baik. Semasa masih di bangku sekolah dasar hingga menengah, meski tidak terlalu pintar dalam pelajaran sekolah, saya selalu diterima di sekolah negeri -- sesuatu yang senantiasa membanggakan serta membahagiakan kedua orang tua saya, lalu dua kali berturut-turut diterima di perguruan tinggi negeri melalui seleksi penerimaan mahasiswa baru yang waktu itu terkenal amat kompetitif. Diri saya terbiasa ‘terformat’ dalam kesuksesan, sampai lupa dan menolak apa pun yang bernama ‘kegagalan’.

Nah, tatkala di dunia kerja, saya mulai diperkenalkan pada berbagai kendala dan sandungan: saya acap dipecat atau pun menghadapi suasana kerja yang tidak menyenangkan, yang membuat saya kecewa hingga akhirnya mengundurkan diri. Kegagalan demi kegagalan mewarnai hidup saya sejak saya mulai memikul tanggung jawab atas diri saya sendiri. Saya tidak siap menerima kegagalan, utamanya disebabkan oleh kondisi kehidupan saya ketika masih kecil maupun saat remaja, yang ‘bebas dari kegagalan’. Akhirnya, saya pun sempat mengingkari kepercayaan saya kepada Tuhan; menganggap Tuhan tidak adil, dan saya lupa bahwa Tuhan pernah memperindah hidup saya sebelumnya dengan demikian banyak kesuksesan. Saya sudah terlalu sering sukses sampai lupa/tidak tahu rasanya gagal.

Setelah saya menempuh jalan spiritual, sukses maupun gagal datang silih berganti ke dalam kehidupan saya, yang begitu seringnya sampai saya lupa apa arti sukses, dan apa arti gagal. Pokoknya, sekarang saya jalani saja hidup ini, mudah-mudahan dimampukan Gusti Allah untuk menerimanya dengan perasaan sabar, ikhlas dan tawakal. Saat senang saya berusaha tidak melebih-lebihkannya, saat sedih pun saya berusaha tidak melampaui batas, semata karena saya khawatir jika salah satunya berlebihan, saya bakal lupa rasa yang lainnya, sehingga lupa pula bahwa keduanya berasal dari Tuhan dan kembalinya juga kepadaNya.©

Ketika Kemapanan Mulai Mengusik


"Agama adalah untuk mereka yang tidak mau masuk neraka.
Spiritualitas adalah untuk mereka yang telah melaluinya."
-- Anonim


Spiritualitas tampaknya mudah diterima dan dilakoni hanya oleh mereka yang kepepet. Atau, oleh orang-orang yang mengalami kesusahan dalam separuh hidupnya. Timbullah kesan, bahwa pendorong seseorang berspiritual adalah ketika ia ditimpa penderitaan. Keberlimpahan materi serta 'kemulusan hidup' lantas dianggap rintangan atau gangguan bagi berkembangnya dimensi spiritual seseorang.

Paling tidak, itulah kesimpulan yang sempat saya peroleh saat membaca buku John Wood, Leaving Microsoft to Change the World -- An Entrepreneur's Odyssey to Educate the World's Children (New York: Collins U.S., 2006). Buku setebal 278 halaman (termasuk indeks) itu membeberkan perjalanan pada suatu periode dari hidup pendiri Room to Read, John Wood, yaitu saat karirnya tengah melambung. Siapa pun, saya kira, mendambakan kesuksesan sedemikian cemerlang dalam pekerjaan dan kehidupan pribadi seperti yang diperoleh Wood, sehingga takkan membiarkan apa pun atau siapa pun merebutnya.

Sembilan dari 13 tahun karir Wood selepas kuliah dihabiskannya di Microsoft. Ia menceritakan pengalamannya ketika pertama kali diinterviu oleh Melinda, manajer sumber daya manusia Microsoft yang kemudian diperistri Bill Gates. Tipe wanita yang dikencani Gates adalah yang berotak cemerlang, sehingga Wood benar-benar mempersiapkan dirinya ketika tahu ia bakal diwawancarai oleh Melinda; manajer SDM secerdas Melinda diperkirakan Wood akan cepat mendeteksi kelemahannya. Proses rekrutmen di Microsoft terkenal sangat kompetitif, penuh sandungan, sehingga Wood tak menyangka ketika dirinya diterima.

Karir Wood menanjak pesat. Sebagian besar waktu dan tenaganya ia dedikasikan bagi Microsoft, sampai-sampai selama 9 tahun bekerja di perusahaan itu belum pernah sekali pun ia mengambil cuti. Hal ini disadarinya pada tahun ke-9 Wood di Microsoft. Saat itu, ia menjadi direktur pemasaran Microsoft Australia di Sydney, di mana ia hidup berkelimpahan sebagai seorang pria lajang. Posisinya menyediakan baginya berbagai fasilitas, termasuk apartemen mewah.

Adalah atasannya sendiri, yang juga sahabatnya, yang menyarankan Wood untuk mengambil jeda di tengah kesibukannya membangun karir dan pergi berlibur. Walaupun awalnya menolak, Wood kemudian pergi berlibur ke Nepal. "Saya kemudian bersikap rasional pada diri saya sendiri, apa gunanya menabung bila kamu tidak bisa menggunakannya untuk mendanai impian-impianmu," tulis Wood di halaman 65 bukunya.

Liburan di Nepal dilalui Wood sebagai backpacker, menjelajahi pegunungan Himalaya, tinggal di bawah tenda, dengan sistem pendingin udara satu-satunya berasal dari hawa dingin alami daerah Nepal. Pemandunya memperkenalkan Wood kepada kehidupan masyarakat pedesaan Nepal yang sebagian besar miskin dan, karenanya, tidak mampu membiayai pendidikan. Pada sebuah sekolah yang infrastrukturnya sangat tidak memenuhi syarat, Wood menemukan ruangan yang sebenarnya dimaksudkan untuk perpustakaan tetapi memiliki jumlah buku yang sangat minim, dipendam begitu saja di dalam peti kayu. Itu pun buku-buku yang ditinggalkan oleh para backpacker yang datang sebelum Wood, dan muatannya tidak cocok untuk anak-anak usia 8-12 tahun yang menjadi murid sekolah itu.

Pengalaman tersebut menjadi awal dari kisah yang mengubah hidup John Wood sedemikian drastis. Pengalaman yang akhirnya mendorongnya meninggalkan kemapanan dan berjuang untuk mengubah dunia lewat yayasan filantropi untuk sekolah dan perpustakaan yang didirikannya dan sebagian didanai dengan kekayaan pribadinya, yang dinamainya Room to Read. Pada tahap ini, Wood tanpa sadar merengkuh dimensi spiritual: pergulatan batin yang dilaluinya saat berproses untuk mengambil keputusan -- keluar atau tidak, dari Microsoft -- telah membawanya kepada dialog yang intens dengan dirinya. Tahap ini disebut Wood (di halaman 112) sebagai mengalami introspeksi menyiksa tentang apakah ada 'kehidupan setelah Microsoft'. Pergulatan batin ini membawa Wood ke momen-momen 'mengenal diri sendiri' seperti yang dialami mereka yang menempuh jalan spiritual, serta memperkenalkannya kepada dimensi yang oleh kalangan pejalan spiritual dinamai 'tuntunan ilahi' (divine guidance).

Layaknya tuntunan ilahi yang berlangsung tanpa perencanaan sebelumnya, usai menyerahkan bantuan buku-buku kepada sebuah sekolah miskin di kawasan pedesaan di Nepal bersama ayahnya, di Kathmandu 'secara kebetulan' Wood berpapasan dengan seorang bhiksu Buddha tua ketika ia sedang berjalan-jalan pagi. Sang bhiksu mengajak Wood bergabung untuk bersemadi bersama para bhiksu. Meski gagal mencapai pengosongan pikiran, Wood mengalami pergolakan batin. Di dalam pikirannya terdapat dua kekuatan yang sama-sama berkuasa, tetapi saling berlawanan. Wood menulis di halaman 36: "Microsoft telah menempatkan saya dalam peran yang baru, dan dalam dua hari saya dijadwalkan untuk kembali ke kehidupan itu. Di sudut yang berlawanan ada prioritas-prioritas saya yang cepat berubah. Apakah penting berapa banyak kopi Windows yang kami jual di Taiwan bulan ini ketika jutaan anak tidak memiliki akses ke buku? Kok saya bisa sih sibuk dengan inisiatif e-commerce kami di Hong Kong, atau upaya-upaya anti-pembajakan di China, ketika tujuh dari sepuluh anak di Nepal menghadapi buta aksara seumur hidupnya?"

Meski gagal mengosongkan pikiran dan bersemadi, Wood mendengar suara batinnya berkata (halaman 36-37), "Kamu harus mengaku pada dirimu sendiri bahwa Microsoft akan kehilangan dirimu satu atau dua bulan. Seseorang akan segera mengisi kekosongannya. Kamu seakan tidak pernah bekerja di sana. Tanyakan dirimu, Apakah ada ribuan orang yang mengantre untuk membantu desa-desa miskin membangun sekolah dan perpustakaan? Pekerjaan itu belum dilakukan. Kamu harus bangkit menghadapi tantangan ini."

Pengalaman batiniah yang dilewati Wood ini adalah warna dalam hidup mereka yang sedang menempuh usaha-usaha yang sulit (difficult undertakings) atau upaya-upaya berkelanjutan (continuous efforts) yang penuh risiko, yang membentuk definisi dari kata 'kewirausahaan' (entrepreneurship). Dengan kata lain, walau Wood mungkin tidak menginsafinya, ia memiliki mentalitas wirausaha, suatu mentalitas yang hakikatnya dimiliki semua manusia, namun tidak pernah sepenuhnya dikenali dan digali, bahkan cenderung diabaikan, yang mengakibatkan banyak pelaku wirausaha jera melanjutkan ikhtiarnya bila gagal di tengah jalan. Padahal kegagalan memang merupakan 'nuansa khas' dalam kewirausahaan, sedangkan bagi para wirausahawan sejati kegagalan merupakan bagian dari proses pembelajaran.

Kenyataannya, buku Leaving Microsoft to Change the World yang amat mengilhami itu memang menyampaikan informasi dan pembelajaran tentang cara-cara menghidupkan tindakan yang mewirausaha. Wood menyarankan agar pada saat kita mulai berwirausaha, kita harus berpikir besar (think big from day one), sebab hal itu membuat kita konsisten dalam memperjuangkan apa yang hendak kita capai. Wood berpegang pada ungkapan yang populer di Microsoft: "Go big or go home" (halaman 116). Pengalaman Wood menuturkan bahwa keberanian dalam menetapkan tujuan-tujuan cenderung menarik perhatian para calon donatur.

Buku ini juga menekankan melalui kisah hidup penulisnya bahwa kemapanan tidaklah abadi, selain bahwa kemapanan yang langgeng mencegah manusia dari penggalian potensi-potensi dirinya, yang dikaruniai Tuhan dalam jumlah tak terbatas, serta pengenalan dirinya, sementara telah disabdakan oleh para utusan Tuhan di masa lalu bahwa "barangsiapa mengenal dirinya sudah pasti ia mengenal Tuhannya".©


Berlatih Mendengarkan Intuisi*

Ibu Katrin, guru kelas enam, sedang menimbang-nimbang, apakah akan menerima atau menolak promosi menjadi kepala sekolah. Pekerjaan itu jelas menantang, namun ia khawatir waktu bagi keluarga akan semakin tersita.

Lisna, manajer Pengembangan Sumber Daya Manusia di sebuah perusahaan, sudah berminggu-minggu mengangankan pekerjaan baru yang lebih 'menggairahkan'.

Anton yang baru di-PHK berpikir, barangkali ini saat terbaik untuk memulai berwirausaha. Lalu Bimantoro, seorang insinyur, berniat coba-coba bekerja di bidang lain namun tetap bisa memanfaatkan keahliannya di bidang teknik.

"Ketika akan membuat keputusan sangat penting, entah dalam menentukan pasangan hidup atau pilihan profesi, keputusan harus datang dari bawah sadar," demikian nasihat tokoh psikoanalisis legendaris, Sigmund Freud.

Intuisi ternyata merupakan sarana ampuh untuk memecahkan masalah, baik karier maupun kehidupan pribadi. Terbukti, para pengambil keputusan jitu, yang berhasil mengambil keputusan secara efisien, efektif dan bijaksana, selalu mengombinasi kekuatan intuisi dengan daya pikir analitisnya.

Masalahnya, bagaimana membina kekuatan intuitif ini sehingga dapat didayagunakan?


Kembangkan kemampuan intuisi dasar

Rupanya, awal dari segalanya adalah keyakinan. Yakini bahwa Anda mempunyai intuisi dan menghargai intuisi itu. Yakini Anda mampu mengetuk intuisi itu, dan benar-benar berniat mengembangkannya. Yakini, informasi yang diperlukan akan Anda peroleh dari intuisi Anda.

Berlatih relaksasi. Ketika tubuh dalam keadaan santai, pikiran pun akan mengendur. Ini memungkinkan frekuensi gelombang otak diperlambat, sehingga pikiran bawah sadar akan berfungsi lebih aktif.

Cari waktu dan tempat untuk menyendiri pada saat-saat tertentu supaya 'suara hati' bisa lebih terdengar. Lepaskan segala perasaan dan pikiran negatif yang memblokade energi. Buat diri Anda berpikir positif. Ganti pikiran negatif dengan pernyataan atau khayalan yang lebih positif.

Bersemadi. Ini membantu Anda memasuki kondisi kesadaran yang lebih dalam, di mana jawaban-jawaban atas pertanyaan Anda akan datang lebih mudah. Anda bisa bersemadi lewat berbagai sarana, misal api lilin, mantra, ungkapan tanpa arti, atau bahkan nama Anda sendiri.

Intuisi menghubungkan kita ke suatu database raksasa. Karenanya, untuk memperoleh jawaban spesifik, pertanyaan yang diajukan pun harus spesifik.

Sebagai contoh, Tiur sedang bertanya-tanya dalam hati, apakah sebaiknya ia pindah ke Surabaya saja menyusul tunangannya?

Maka janganlah ia bertanya, "Haruskah saya pindah?", namun "Haruskah saya pindah ke Surabaya?" Kalau jawabannya 'ya', baru informasi berikutnya ditanyakan. "Haruskah saya pindah bulan ini atau akhir tahun?"


Beberapa teknik pemecahan masalah

Memrogram mimpi. Katakan pada diri sendiri, "Saya ingin bermimpi tentang informasi yang akan memecahkan masalah ini" dan "Saya akan bermimpi tentang itu, akan mengingatnya dan memahaminya."

Mimpi biasanya datang dalam bahasa atau perlambang yang dapat dimengerti. Amati rangkaian peristiwa dalam mimpi itu, dan perasaan Anda di saat mimpi itu berakhir dan Anda terjaga.

Catat pertanda-pertanda yang terjadi dalam diri Anda maupun yang eksternal, yang terjadi keesokan harinya.

Bikin gambar coretan. Tuliskan pertanyaan yang ingin Anda ketahui jawabannya. Di bawah pertanyaan itu, gambarlah apa pun yang terlintas pada pikiran Anda dan yang mengalir begitu saja lewat tangan Anda.

Teruslah menggambar hingga tak ada lagi yang ingin ditambahkan. Kini lihat makna di balik gambar dan simbol itu.

Catat urutan pembuatan gambar dan simbol itu. Perhatikan pikiran dan perasaan Anda saat mengamati gambar.

Olahraga. Ajukan satu pertanyaan pada intuisi Anda sebelum berolahraga. Kemudian fokuskan diri pada olahraga. Perhatikan berbagai isyarat yang muncul selama dan setelah berolahraga.

Bikin catatan mimpi. Luangkan waktu sekitar 20 menit untuk menuliskan segala sesuatu yang ingin, telah, atau sedang dikerjakan. Ciptakan orang, perasaan, dan tempat yang ingin dikunjungi.

Anggap semuanya serba mungkin. Tak perlu mempertimbangkan soal keamanan atau finansial. Perhatikan apa tema-tema besar yang muncul dalam mimpi Anda setelah itu.

Memrogram sukses sehari. Santai di tempat tidur sebelum bangun pagi. Bayangkan di layar batin, sehari yang penuh dengan kesuksesan. Pasang jam pada layar itu dan secara batin gerakkan jarumnya jam demi jam dari pagi hingga hari berakhir.

Mainkan 'bioskop batin' itu, dengan Anda sebagai sutradaranya. Dalam bioskop digambarkan bagaimana segala sesuatu berjalan dengan lancar dan sukses.

Gunakan teknik ini untuk berlatih secara mental sebelum menjalani wawancara untuk suatu pekerjaan atau hal lain yang diidamkan.

Buat catatan harian. Setiap hari catatlah gagasan, perasaan, dan firasat Anda. Perhatikan apa yang ditulis dan perasaan Anda saat menulisnya.

Catat pikiran dan perasaan yang muncul saat Anda selesai. Anda akan mengetahui beda antara firasat berdasarkan intuisi dan gagasan berdasarkan perhitungan.

Latihan amat perlu. Makin banyak Anda berusaha mendengarkan dan memperhatikan intuisi, semakin tinggi kemampuan Anda untuk mendengarnya. Maka luangkan waktu barang lima menit setiap hari untuk mendengarkan intuisi.

Mintalah bantuan, dukungan, petunjuk apa pun, kepada intuisi Anda. Percayalah, Anda akan memperoleh jawaban.β


*) Diambil dari "Pengobatan Alternatif," © 2004 PT Intisari Mediatama.

Berkeinginan Penuh untuk Kosong

"Jadilah tidak kentara, bahkan sampai titik tanpa bentuk. Jadilah misterius, bahkan sampai titik tanpa suara. Dengan cara itu, engkau bisa mengarahkan nasib lawan."
Sun Tzu, The Art of War. Emptiness and Fullness.


Sejak dua pekan yang lalu hingga 16 Februari 2008, saya memaksakan diri menggenjot energi ekstra berhubung saya harus menyelesaikan banyak pekerjaan -- terlalu banyak pekerjaan untuk ukuran seorang freelancer yang bekerja di SOHO (Small Office, Home Office), dibantu oleh istri saya, khususnya dalam urusan administratif.

Saya sempat putus asa, terutama oleh kenyataan bahwa hampir semua pekerjaan itu diberi tenggat waktu yang sama, yaitu pada hari Senin, 16 Februari. Istri saya, yang tidak tahan dengan emosi saya yang meletup-letup, kemudian mengingatkan saya agar latihan (latihan kejiwaan Subud -- ADS), agar saya saya mengosongkan diri, menggapai kondisi pikiran nol (zero mind condition). Waktu istri saya mengingatkan hal itu, saya membatin, "Ah iya-ya, bego aku. Kenapa nggak kepikir ya?!"

Menjalani kehidupan sehari-hari yang sarat perjuangan dan tantangan saya memang berkeinginan penuh untuk kosong. Namun, karena tekanan yang terlalu kuat, saya acap menyadari hal yang sebenarnya mudah itu belakangan. Kosong akal pikir dan hawa nafsu. Ini istilah-istilah yang hampir selalu menimbulkan salah paham dan salah kaprah. Ada yang menganggap bahwa hal itu membuat setan mudah memasuki diri kita (kenyataannya, setan sudah ada di dalam diri kita semua, yaitu nafsu-nafsu yang merongrong). Ada pula yang mengira dengan mengosongkan pikiran bakal menghilangkan pikiran dan nafsu akan dunia. Bagaimana mungkin pikiran kita dikosongkan bila kita sebenarnya perlu berpikir? Tidak mungkin kita tidak berpikir. Jika tidak perlu berpikir, buat apa Tuhan menciptakan akal pikir.

Memang benar kita perlu mempergunakan pikiran, karena ia pelengkap kita untuk hidup di dunia. Makna dari 'mengosongkan pikiran' sesungguhnya adalah membiarkan pikiran tetap pada posisi sejatinya, yaitu sebagai pembantu, bukannya malah menobatkannya sebagai majikan. Osho ("Rajneesh" Chandra Mohan Jain, mistikus dan guru spiritual asal India) mengatakan, "Pikiran adalah pembantu yang baik, tetapi majikan yang buruk." Membiarkan pikiran kita naik ke tingkat majikan akan menimbulkan kondisi seperti yang saya alami di atas: merasa serba susah, uring-uringan, dan memiliki nafsu amarah yang tidak terkendali. Mengosongkan pikiran, meminjam ekspresi yang kerap dilontarkan saudara Subud saya, adalah let go, let God -- bebas-lepaskan segala sesuatu yang terasa menghalangi, biarkan Tuhan yang bekerja. Dengan mengosongkan pikiran, kita akan mampu mengatasi penghalang-penghalang yang luar biasa untuk memanifestasikan potensi kita bagi kebaikan semua orang.

Mengikuti saran istri saya, saya pun menjauh dari depan komputer, duduk di pojok kesukaan saya, merem (memejamkan mata) lantas lerem (menentramkan diri), admit (mengakui ketidakberdayaan saya) dan submit (berserah diri).

Perlahan-lahan, mengalir di dalam diri saya suatu energi, yang kuat sekaligus halus, menggetar lirih dan mengguncang sendu, diri saya kosong sekaligus penuh, begitu damai namun mampu membuyarkan pikiran-pikiran yang tidak berguna. Yang tersisa hanyalah pikiran positif bahwa saya sanggup menyelesaikan pekerjaan saya dengan baik dan benar. Pada tenggat waktu yang telah ditentukan, tinggallah saya nyaris tidak bisa percaya dengan kenyataan bahwa seabrek pekerjaan yang kurang dari sepekan sebelumnya masih membebani saya, sekarang sudah tuntas semua. Saya menggunakan pikiran saya ketika mengerjakan itu semua, tetapi pikiran saya tertuntun oleh suatu kekuatan di luar eksistensi saya -- rasanya seperti pikiran saya ada yang mengarahkan tanpa upaya dari pihak saya.

Saya mendapat pengalaman-pengalaman luar biasa sebagai hasil dari mengosongkan pikiran. Sebagai penulis materi komunikasi pemasaran dan korporat, saya sering mendapat pekerjaan penulisan naskah dalam bahasa Inggris. Ketika hasilnya dipresentasikan kepada klien-klien saya, rata-rata mereka mengira yang menulis naskah itu adalah seorang native speaker. Saya menguasai banyak kosa kata bahasa Inggris namun lemah sekali dalam grammar. Lalu, bagaimana mungkin saya bisa menulis dalam bahasa Inggris setara native speaker? Saya kosongkan pikiran dari penghalang-penghalang tepat/keliru, yang kemudian memunculkan kemampuan merasakan setiap kata dan setiap kalimat -- merasakan kapan suatu kata/kalimat tepat/keliru untuk suatu waktu. Proses merasakannya sendiri sulit dijelaskan -- saya hanya merasakan! Ketika saya ceritakan hal ini kepada saudara Subud saya yang berasal dari Liverpool, Inggris, ia tertawa dan mengatakan, "Kita orang Inggris saja tidak menguasai grammar. Itu tidak penting. Kita merasakan saja. Selamat! Kamu telah naik ke level berikutnya dalam bahasa Inggris. Kamu sudah jadi native speaker!"

Sadar atau tidak, semua kesusahan, penderitaan, ketidakmampuan, kemalasan, kemarahan, kebencian, berasal dari pikiran. Pikiran -- saat ia ditempatkan sebagai majikan -- senantiasa mendikte kita untuk berpihak pada negativisme. Saya pernah membenci seseorang sedemikian rupa -- terutama karena cara bicaranya yang penuh amarah dan lagak lagunya yang arogan, sampai saya selalu menghindari dirinya, dan yang saya lihat pada dirinya hanyalah keburukan. Suatu saat, saya didudukkan bareng dia dalam satu tim kepengurusan sebuah organisasi. Mau tak mau saya harus bersambung rasa dengannya dan seluruh anggota tim, agar kerja tim kami bisa langgeng. Saat itu, saya mengosongkan pikiran saya dari benci, lantas mengisinya dengan cinta pada apa yang saya kerjakan serta tekad untuk menjadikan tim kami solid. Saat itu terjadi, saya bahkan kaget dengan diri saya sendiri: saya menjadi demikian mengagumi dan menyayangi orang yang tadinya saya benci setengah mati. Orang yang tadinya selalu saya hindari, kini telah menjadi sosok yang saya rindukan kehadirannya dalam kaitan dengan kegiatan keorganisasian. Segala ucapannya yang selalu penuh amarah lha kok serasa seperti ungkapan sayangnya pada orang yang kepadanya ia lontarkan kemarahannya.

Aneh, bukan?! Coba renungkan, bahkan pikiran kita pun tidak mampu mencerna fenomena sederhana ini. Tetapi saya meyakini itu adalah kekuatan Cinta Yang Maha Agung yang mengisi jiwa mereka yang selalu berkeinginan penuh untuk kosong.©

Memuji itu Memang Terpuji

"Seorang yang beriman tidak akan menghina dan mengutuk orang. Juga tidak akan mengucapkan perkataan sia-sia dan kasar."
-- Sabda Nabi Muhammad SAW, dikutip dalam Maulana Wahiduddin Khan, Buku Kecil Kearifan Islam: Kisah-kisah Nabi dan Para Sahabat yang Penuh Ilham dan Mencerahkan 2 (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2005), hlm. 42.


Memberikan pujian memang merupakan tindakan yang terpuji. Pujian bisa sangat memotivasi kita. Yang tidak terpuji adalah ketika kita memberikan pujian secara berlebihan -- biasa disebut 'sanjungan'. Sahabat Umar ibn Khattab r.a. ketika dipuji-puji oleh seseorang mengatakan bahwa orang itu sedang membunuhnya perlahan-lahan. Keimanan yang tidak kuat bisa membawa kita kepada kesombongan hanya karena dipuji. Pujian yang berlebihan dan tidak pada tempatnya (baca: tidak sesuai kenyataan sebenarnya) bisa membuat kita melambung, lalu terlena. Karena itu, berhati-hatilah ketika hendak memuji atau ketika menerima pujian.

Bagaimanapun, memuji itu memang terpuji. Meski wisdom ini tampaknya sudah kuno, ada kalanya kita melupakan hal ini. Satu alasannya bisa jadi karena kita tidak selalu sadar akan kinerja orang-orang di sekitar kita. Pada saat yang sama, itu bisa membuat orang lain menganggap seolah kita segera memperhatikan jika sesuatu berjalan salah. Dalam hal ini, alangkah baiknya kita memberi tekanan pada prestasi-prestasi luar biasa yang telah dicapai oleh, misalnya, teman-teman kita, karena hal ini memperkuat kebersamaan dan persahabatan.

Pujian harus diberikan tanpa ditunda-tunda. Pujian harus spontan dan diberikan pada saat yang tepat. Jika tidak, akan terkesan tidak tulus. Perbandingan antara satu teman dan yang lainnya harus dihindari ketika kita memberikan pujian. Bila tidak, satu teman akan merasa dihargai, sementara yang lain merasa kurang penting.

Orang yang melakukan kebaikan pantas menerima pujian. Dalam kasus-kasus semacam ini, memuji tanpa secara spesifik menyebut nama pelaku atau memuji sekumpulan orang secara kolektif, sementara yang bekerja hanya beberapa di antara mereka, dapat menjadi tidak tepat. Orang yang benar-benar melakukan pekerjaan akan merasa upayanya tidak dihargai. Berbuat kebaikan memang harus tulus, tanpa pamrih. Tetapi dari sisi kita jangan sampai melupakan bahwa orang di luar diri kita, meski tampak tidak menginginkannya, juga berhak atas pujian atau kata-kata positif. Bagaimanapun, hal itu bakal menguntungkan kita pula. Orang-orang yang kita puji bakal senantiasa termotivasi untuk mengulangi perbuatan baiknya, dan kita pun bakal menerima imbasnya.

Sepertinya di dalam diri kita ini ada suatu zat atau alat yang bereaksi apabila menerima kata-kata positif seperti pujian, sehingga adalah alami bila kita mudah dan cepat termotivasi bila dipuji. Saya jadi teringat pada bukunya Dr. Masaru Emoto dari Jepang, The Miracle of Water -- Mukjizat Air (Jakarta: Gramedia, 2007). Dr. Emoto membuktikan bahwa susunan molekul-molekul air dapat mengubah mengikuti apa yang diucapkan ke atas air tersebut.

Nah, tubuh kita pun mengandung banyak unsur air. Saya kira, itulah sebabnya pujian yang tulus menimbulkan kristal-kristal yang cantik pada diri kita, dan dengan sendirinya membangkitkan motivasi. Baik pada diri orang yang kita puji maupun diri kita sendiri. "Jadi, jika Anda membiasakan diri menggunakan kata-kata yang positif, air dalam tubuh Anda dan di sekitar Anda akan menjadi indah dan bersih, dan Anda pun menjadi sehat dan sejahtera," tulis Emoto pada bab pertama bukunya. Jika demikian, memuji itu memang terpuji.©

Dari Nol ke Nol

"[K]arena Yesus mengetahui bahwa bagi segelintir orang, jalur tercepat menuju Siapa Diri Mereka adalah melalui Siapa Yang Bukan Diri Mereka."
--Neale Donald Walsch, Conversations with God 2 -- Menyibak Kehidupan Bersama di Planet Bumi (Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer, 2006), hlm. 235



Tiada angin, tiada hujan, tiba-tiba saya ingin membuat nasi goreng. Saya sedang menonton televisi yang sama sekali tidak menayangkan acara wisata kuliner atau masak-memasak, ketika keinginan itu muncul. Di Subud, kecenderungan ini disebut 'penerimaan' (receiving), atau secara umum dikenal sebagai 'ilham'. Sifatnya tuntunan; bila diikuti berdampak baik bagi si penerima, bila tidak biasanya, ya, sebaliknya. Tetapi ini adalah soal melatih merasakan diri -- apakah penerimaan tersebut berasal dari nafsu kehendak belaka atau memang dari sumber yang luhur. Untuk mengetahuinya, akal pikir dan nafsu Anda harus benar-benar nol, tenang dan tentram. Jika masih ragu juga, Anda bisa mengerjakan apa yang Anda terima.

Saya tergolong peragu. Saya tidak mudah diyakinkan apabila belum mengalaminya sendiri. Oleh karena itu pula, karier relijiusitas saya acap menyenggol sana-sini, menyentuh unsur-unsur di luar ajaran agama azali saya, agar dapat benar-benar meyakini subyek-subyek yang diajarkan, termasuk Tuhan dan ketuhanan. Penerimaan untuk membuat nasi goreng itu pun tidak saya biarkan terpendam. Sehari setelah memperoleh penerimaan itu, saya mewujudkannya.

Ketika memasak, pikiran saya nol; hanya terfokus pada kegiatan memasak nasi goreng. Saya tidak memikirkan apakah hasilnya nanti lezat atau tidak -- saya hanya mencampurkan bumbu ini dan itu, tetapi lupa menambahkan garam dan vetsin. Saya bahkan tidak memikirkan untuk apa nasi goreng tersebut nantinya, karena saya sedang diet anti-nasi. Hasilnya di luar dugaan saya (utamanya karena saya tidak pandai memasak): istri saya, yang ahli dalam hal masak-memasak pun, ketagihan akan kelezatan nasi goreng buatan saya. Sementara itu, dalam hati saya memuji-muji kebesaran Tuhan yang telah menuntun saya membuat nasi goreng itu.

Istri saya hobi memasak. Gemar sekali ia mencobai resep-resep baru. Sekali waktu ia bersama dua saudari Subudnya membuat siomay. Hasilnya tidak mengecewakan, tetapi istri saya kurang puas. Ia lalu mengajak saya ke rumah makan Soto Mi Kepala Sapi Makk Nyusszz di kawasan Jalan Moh. Kafi I, Ciganjur, Jakarta Selatan, yang juga menyajikan siomay. Rumah makan yang dalam waktu kurang dari setahun berkembang dari dagangan gerobak menjadi restoran laris manis itu milik saudara Subud saya, sehingga istri saya tak sungkan menanyakan resep siomay kepada kokinya. Pemilik rumah makan tersebut berkomentar, "Resepnya sama saja dengan yang lain. Yang membedakan adalah kita pakai 'rasa diri'."

Rasa diri (inner feeling, inner state) adalah suatu keadaan mental-spiritual yang diperoleh melalui pengosongan diri, me-nol-kan pikiran dan nafsu kehendak untuk sementara waktu. Mengenai fenomena alami ini, melalui bukunya, The Power of Now -- Pedoman Menuju Pencerahan Spiritual (Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer, 2005), hlm. 199-200, Eckhart Tolle menjelaskan: "Salah satu bentuk praktik spiritual yang terkuat adalah melakukan meditasi secara mendalam tentang kefanaan bentuk-bentuk fisik, termasuk diri Anda. Inilah yang dinamakan: Matilah sebelum Anda mati. Masuklah secara mendalam. Wujud fisik Anda akan lenyap, akan tidak ada lagi. Kemudian akan tiba saatnya semua bentuk pikiran dan pemikiran juga akan mati. Namun Anda masih berada di sana -- kehadiran ilahi ada di dalam diri Anda. Memancar sangat indah, sepenuhnya sadar. Tidak ada yang mati dari yang sejati, yang mati hanyalah nama, wujud dan ilusi."

Meski berdarah Jerman-Kanada dan sama sekali belum pernah tinggal lama di tanah Jawa, Eckhart Tolle ternyata sepaham dengan budaya kebatinan Jawa dengan ajaran mati sajroning urip (mati dalam hidup)-nya. Itu karena ajaran tersebut di ranah spiritual bersifat universal. 'Mati' di sini berkonotasi me-nol-kan diri, meniadakan diri yang bersifat materi, berpulang ke hakikat kemanusiaan kita, yang azalinya merupakan makhluk spiritual.

Me-nol-kan diri bukan laku aneh-aneh; laku yang hanya (boleh) ditempuh para pertapa atau ahli mistik. Bukankah tadinya kita tidak ada, lalu ada, dan akhirnya kembali tiada?! Eksistensi kita berasal dari nol, lalu ketika usia ingin beristirahat, kita kembali ke nol. Lalu, buat apa kita menjadi nol ketika kita sedang menjadi bukan nol?

Dalam keadaan nol-lah daya hidup yang luhur datang menghampiri kita, menyelimuti diri kita. Ketika didera putus asa, kehilangan daya, dan pikiran tak lagi mampu mencerna, saat itulah para nabi dan utusan Tuhan didekati Roh Kudus yang datang menyampaikan wahyu.

Dari kisah-kisah nubuat yang diterangkan oleh kitab-kitab suci agama-agama besar dunia nyata sekali korelasi antara pikiran yang nol (kosong, tentram, istirahat) dengan kelancaran datangnya ilham, bahkan kelancaran dalam berpikir. Pengarah kreatif Andromeda, sebuah biro iklan terkemuka di Australia, Siimon Reynolds, dalam halaman 167 buku Jim Aitchison, Cutting Edge Commercials -- How to Create the World's Best TV Ads for Brands in the 21st Century (Singapura: Prentice Hall, 2001), mengatakan, "Kanvas sejati dari penciptaan adalah diam. Anda kira Anda perlu dua orang sehingga Anda bisa membanding-bandingkan ide-ide, padahal Anda bisa membanding-bandingkan dengan diri sendiri."

Tetapi ketenangan pikiran -- yang, pada gilirannya, dapat menghidupkan rasa diri serta menciptakan keadaan pikiran yang tertuntun daya hidup yang luhur -- seringkali diabaikan, utamanya dalam kehidupan kontemporer ini. Tak mengherankan jika metode penyelaman diri, yang pernah menjadi sesuatu yang sangat mudah dilakukan, utamanya oleh mereka yang hidup di alam pedesaan yang permai dengan keadaan ekonomi yang tidak berlebihan -- sehingga tidak mempunyai materi yang menimbulkan kemelekatan -- menjadi komoditas yang mahal harganya dewasa ini.

Hypnotic writing dan hypnotic marketing -- teknik menulis/pemasaran yang berefek membuai pembaca/pelanggan bagaikan terhipnotis -- yang ditawarkan Dr. Joe Vitale, misalnya, dijual dalam bentuk pelatihan yang biaya kepesertaannya tidak murah. Padahal hypnotic writing dan hypnotic marketing mudah sekali dilakukan, asalkan Anda mampu me-nol-kan diri, menghidupkan rasa diri Anda dan mengerahkan keseluruhan diri Anda tertuntun oleh daya hidup yang luhur. Rasa diri yang hidup membangkitkan kepekaan Anda akan pikiran dan perasaan orang lain -- dalam hal hypnotic writing dan hypnotic marketing, yaitu pembaca/pelanggan Anda. Menulis atau berjualanlah tanpa pretensi, tanpa nafsu ingin untung sendiri atau ingin terkenal, tetapi menulis atau berjualanlah dengan rasa cinta dan penghargaan yang mendalam pada pembaca/pelanggan Anda. Jadikan diri pembaca/pelanggan satu dengan diri Anda; ketika Anda tidak menyukai tulisan/barang dagangan Anda, maka pembaca/pelanggan pun takkan menyukainya. Itulah prinsip dari hypnotic writing dan hypnotic marketing. Seyogianya hal ini diterapkan pada semua pekerjaan dan tindakan Anda.

Mulailah segala sesuatu dari sikap diri yang nol, yaitu pikiran yang terbebas dari kemelekatan pada tujuan nafsu kehendak. Tidak usah khawatir untuk memulai dari nol di saat Anda sedang 'penuh' sekarang ini. Toh akhirnya kita semua akan kembali ke nol lagi.©


Ego Pangkat Dua

"Jangan biarkan ego Anda terlalu dekat pada jabatan Anda, karena begitu jabatan Anda hilang, ego Anda ikut bersamanya."
-- Colin L. Powell, mantan jendral bintang empat Angkatan Darat Amerika Serikat, mantan Menteri Luar Negeri AS (2001-2005) dan mantan Kepala Gabungan Kepala Staf AS (1989-1993)


Dalam suatu obrolan di meja makan saat sarapan, pada hari Sabtu yang mendung, saya dan kakak saya membicarakan teman-teman kami semasa kuliah di Fakultas Sastra Universitas Indonesia, yang masing-masing dari kami menjumpai mereka kembali di ajang Facebook. Bibi kami yang renta mendengarkan obrolan kami dengan seksama. Kemudian ia menyela, "Teman-teman Anto sudah jadi besar semua ya. Tinggal Anto, nih, kita tunggu besarnya."

Secara bergurau, saya timpali bahwa saya sudah besar -- badan saya memang tinggi dan besar. Bibi saya meluruskan pernyataannya; bahwa yang dimaksudkannya adalah 'pangkat' atau 'jabatan'. Pada saat itu, sikap saya berubah serius. Saya katakan pada bibi saya, bahwa jabatan itu tidak penting, bahwa membuat orang menghormati dan menghargai kita karena kesejatian diri kitalah yang mesti diutamakan. "Ada orang-orang yang stres berat hanya gara-gara kehilangan jabatan, status, bahkan pekerjaan. Saya tidak mau menjadi seperti itu; saya ingin menjadi diri saya sendiri," kata saya. Saya puas dengan diri saya sendiri, dengan apa pun yang saya lakukan dan peroleh dari situ. Saya bahagia karena tidak perlu memiliki ego pangkat dua: yaitu aku sejati -- yang ada sejak saya diciptakan dan aku palsu -- yang mesti melekat pada hal-hal di luar diri, seperti harta, jabatan dan status, agar bisa tetap eksis.

Menjadi diri sendiri ternyata hal yang sangat sulit untuk dilakukan. Tempat pas untuk menguji apakah diri kita mampu menjadi diri sendiri adalah dunia kerja. Banyak orang, bahkan jumlah yang terbesar, menganggap dirinya eksis bila punya pekerjaan tetap, menerima gaji setiap bulannya, meskipun itu berarti mereka kadang harus melawan tentangan hati nurani.

Saya sudah beberapa kali bekerja di perusahaan-perusahaan yang karyawan-karyawannya membentuk diri mereka menjadi yes-men, membeo pada kesewenang-wenangan manajemen, semata karena takut kehilangan pekerjaan. Dan perusahaan-perusahaan yang tumpat dengan karyawan semacam itu semua berakhir berantakan.

Ada apa sih dengan pekerjaan, sehingga orang begitu memujanya, sampai-sampai orang rela mengakhiri hidupnya setelah di-PHK? Bekerja memang perlu, sebagai sarana ekspresi dan aktualisasi diri, tetapi pekerjaan itu sendiri tidaklah seberapa penting. Terpaku pada satu pekerjaan boleh-boleh saja asal Anda siap untuk diterjang perubahan setiap saat. Cara yang paling aman adalah mempersiapkan agar pekerjaan Anda bisa fleksibel menghadapi peningkatan, perbaikan atau perubahan di masa depan. Atau menjadikan diri Anda pribadi yang bermental wirausaha, yang berciri kreatif, lincah, gigih dan fleksibel.

Ketika saya mulai menapak karier di periklanan pada tahun 1994, saya tidak punya gambaran bagaimana jadinya saya lima, sepuluh atau lima belas tahun ke depan. Tahun 1994, saya hanya bisa menulis naskah iklan cetak; tahun 1995, saya belajar menulis skrip iklan radio dan televisi lewat praktik langsung. Saat itu, saya kira saya hanya akan menjadi penulis naskah iklan belaka, yang kariernya paling banter berpuncak pada creative director, yang memimpin departemen kreatif sekaligus mengarahkan kreativitas iklan-iklan yang diproduksi tim-tim kreatif.

Ternyata semua berpulang kepada diri sendiri. Saya maunya jadi apa? tanya saya pada diri sendiri. Setelah lima tahun menulis naskah iklan, saya bertekad untuk jadi hebat dalam bidang komunikasi pemasaran, bukan hanya iklan. Pada saat yang sama, saya ingin bekerja di tempat, di mana istri saya pun merasa senang dengan kenyataan bahwa ia berada dekat dengan orang tuanya maupun teman-temannya. Karena itulah, tahun 2000 saya meninggalkan kota kelahiran saya, Jakarta, pindah ke Surabaya.

Suatu ketika, saya dipinjami buku oleh saudara Subud saya. Buku berjudul Human Enterprise itu menggambarkan sejatinya kewirausahaan yang dilandasi keyakinan akan bimbingan Tuhan. Di dalamnya, saya baca bahwa sebuah wirausaha baru dapat dikatakan 'wirausaha terbimbing' jika pelakunya mengikuti tuntunan rasa dirinya. Jika masih menjadi 'orang gajian' itu juga bisa disebut wirausaha, tetapi wirausaha yang masih melekatkan ego kita padanya. Secara garis besar, buku itu mengajak kita untuk mewujudkan wirausaha agar kita bisa menjadi diri sendiri -- bebas dari keadaan yang memaksa kita memiliki ego pangkat dua.

Buku Human Enterprise itulah yang akhirnya memantapkan hati saya untuk menggapai -- meminjam istilah Stephen Covey untuk 8th Habit-nya -- 'jiwa merdeka'. Dengan menjadi freelancer 100%, saya berhasil menjadi diri sendiri, menjalani pekerjaan dengan tuntunan rasa diri tanpa khawatir di-PHK, tidak terusik kebutuhan akan gengsi dan dapat berwirausaha dengan misi, visi dan nilai yang sesuai dengan pribadi saya. Dan saya bisa senantiasa mengantisipasi perubahan. Ketika saya masih bekerja pada perusahaan milik orang lain, hal itu tidak mungkin saya lakukan, selama pemilik perusahaan memasang kacamata kuda terhadap kenyataan-kenyataan yang terjadi di lingkungan bisnisnya.

Bila setelah membaca tulisan saya ini Anda berpikir betapa enaknya menjadi seperti saya, buang jauh-jauh pemikiran itu. Karena, bagaimanapun, masih lebih asyik menjadi diri sendiri.©