Wednesday, October 29, 2008

Baju Agamis

Saya pertama kali mengunjungi Masjid Sunan Ampel di Surabaya pada tahun 2000. Waktu itu, saya baru sembilan bulan bekerja di sebuah biro iklan di Kota Pahlawan dan saya ke kawasan Ampel dalam rangka mencari lokasi untuk pemasangan iklan media luar ruang buat klien saya, produsen Sarung Kenari. Saya ke kompleks yang merupakan salah satu tempat 'wajib kunjung' dalam rangkaian ziarah Wali Sanga itu bersama tiga teman saya (dua cowok, satu cewek).

Di halaman depan masjid bersejarah itu terpampang papan yang memberitahu para pengunjung agar berbusana Muslim. Teman saya yang cewek kebetulan tidak mengenakan busana yang memenuhi syarat untuk disebut sebagai 'busana Muslim' dan ia pun dipersilakan oleh juru kunci Masjid dan Makam Sunan Ampel agar meninggalkan lokasi itu. Saya protes keras!!! Terutama karena pihak pengurus Masjid dan Makam tidak bersikap konsisten. Sambil menunjuk ke arah makam, saya berkata kepada sang juru kunci, "Tapi orang-orang salat ngadep kuburan dibiarin? Itu kan syirik, Pak, nggak Islami! Bid'ah!" Di lokasi makam memang banyak orang mengerjakan salat menghadap kuburan Sunan Ampeldenta dan membakar dupa. Tapi juru kunci hanya mengangkat bahu, mengisyaratkan bahwa ia tak dapat berbuat apa-apa terhadap hal itu.

Mengenang kejadian menyebalkan di kompleks Masjid Sunan Ampel Surabaya itu saya teringat pada program radio Keluarga Islami yang rutin ditayangkan di Radio Ramako 105.8FM (sekarang Lite FM) setiap malam Jum'at, yang menampilkan Pak Siwo sebagai narasumber. Suatu kali, ada seseorang menelepon dan menanyakan pendapat Pak Siwo tentang masyarakat agamis yang menentang spiritual(itas). Pak Siwo bertanya balik, "Apa maksudnya 'masyarakat agamis'? Apa ukurannya? Masyarakat agamis kok nentang spiritual. Gimana mau benar agamanya kalau tanpa spiritual? Spiritual itu kan cuman istilah asing yang diterjemahin sebagai 'kerohanian'. Nah, kalau agama tanpa dibarengi kerohanian mau jadi apa?" Saya tertawa ngakak mendengar sentilan Pak Siwo. Beliau selanjutnya mengatakan, "Apa tolok ukur agamis itu pada pakaian? Apa kalau pakai baju koko, berpeci, atau berjilbab lantas dianggap pemakainya lebih beriman daripada yang nggak berbusana Muslim? Jangan ngawur dong!"

Saya sering menjumpai orang-orang yang berlindung di balik 'baju agamis'. Bukan hanya dari kalangan orang Islam, tapi juga para pemeluk agama-agama lainnya. Pada saat bersamaan, sikap dan perilakunya amat tidak menunjukkan sikap keberagamaan yang sesuai! Yang lebih parah bila terlalu menganggap Arab/Timur Tengah itu Islam, karena, akibatnya, banyak juga yang tertipu. Ada orang-orang Islam yang bangga memasang stiker berkaligrafi tulisan Arab yang ternyata, setelah diterjemahkan dan dikaji, merupakan kutipan dari kitab suci non-Muslim. Jangan-jangan, kalau ada orang Arab iseng membuat bacaan nista (misalnya, stensilan porno) dalam bahasa dan aksara Arab serta mencantumkan riwayat bohong seolah sang penulis adalah anggota Rantai Emas (keturunan Nabi Muhammad), kaum pemuja simbol agama ini akan menganggapnya sebuah kitab hadis sahih! Wah, kacau balau, deh! Pasalnya, Arab/Timur Tengah tidak dengan sendirinya identik dengan Islam. Kawasan itu juga merupakan tempat lahirnya (cradle) agama-agama wahyu lainnya, juga aliran-aliran sesat.

Saya pernah menanyakan saudara saya dari Subud Cabang Surabaya, seorang keturunan Tionghoa yang beragama Katolik, kenapa ia tidak mengenakan kalung salib seperti halnya saudara-saudara saya umat Kristen pada umumnya. Ia menjawab sambil menepuk-nepuk dadanya, "Ada di dalam sini, Mas." Ada anggota Subud lainnya, juga dari Surabaya, yang seorang ustadz bergelar sarjana agama jebolan Universitas Darul Ulum, Jombang. Penampilannya biasa saja; artinya, tidak show off kepada publik melalui busana dan aksesori yang menandakan ia seorang ustadz!

Sejak mengembara di Jalan Spiritual, tidak lagi terpesona mata lahir saya terhadap simbol-simbol agama. Saya hanya terpesona, memandang dengan hati penuh kerinduan pada Dzat Wajibul Wujud, al-Haqq 'Azza wa Jalla!!! Pada saat ini, saya merasakan ada pemberhalaan terhadap sistem dan pemberhalaan terhadap materi. Sistem yang diajarkan agama, bila dipahami secara kontemporer dan kontekstual, adalah suatu 'jalan' menuju kepada Tuhan. Namun, tanpa disadari, fanatisme sering membutakan kita sehingga kita menyembah 'jalan' tersebut, bukannya Tuhan. Dan juga kita menyembah materi yang berupa simbol-simbol. Simbol merupakan materi, sedangkan Allah tidak dapat dibatasi dengan materi. Dia adalah suatu Spirit yang Maha Kuasa dan tidak dapat dibatasi materi. Mengutip Perjanjian Baru (Yohanes 4: 24): "Allah itu Roh dan barangsiapa menyembah Dia, harus menyembahNya dalam roh dan kebenaran."

Spiritualitas merupakan suatu jalan tanpa sistem dan tanpa materi perantara (simbol-simbol), yang saya percaya juga dapat meraih Tuhan seperti agama. Sebab, jalan kepada Allah adalah dengan rumah ibadah yang berasal dari dalam hati. Psikolog Amerika, DR Robert Frager, yang juga seorang syekh Tarekat Sufi al-Halveti al-Jerrahi, dalam bukunya Hati, Diri & Jiwa: Psikologi Sufi untuk Transformasi (Jakarta: Serambi, 2002) menyebut hati sebagai 'kuil Tuhan'. Syekh 'Abdul Qadir al-Jailani dalam kitab Jala'al Khawathir [Bersitan-Bersitan Hati]: 45 Hikmah Kebajikan (Surabaya: Risalah Gusti, 2006) maupun Al-Fath ar-Rabbani wa al-Faydl ar-Rahmani [Renungan Sufi: 62 Petuah Ruhaniah] (Yogyakarta: Penerbit Pustaka Al-Furqan, 2006) mengajak kita untuk sering-sering memejamkan mata dan menundukkan kepala, merendahkan hati, diri dan jiwa di hadapan Allah 'Azza wa Jalla.

Kenapa memejamkan mata? Amalan pemejaman mata terdapat tidak saja di dalam [tasawuf] Islam, tapi juga di meditasi transendental Buddhisme Zen dan persembahyangan Hindu. Bahkan, bukankah kita juga lebih khidmat berdoa kalau mata kita terpejam? Mata lahir kita sejak menapak usia akil baliq sudah terbiasa melihat gemerlap duniawi yang menggoda. Dunia sarat dengan materi dan 'bahasa simbol', sehingga kita pun sering tidak yakin telah berhadapan dengan Tuhan kalau tidak ada benda perantara, seperti tulisan Arab untuk 'Allah' dan 'Muhammad' di dinding masjid (bahkan kita pun kadang merasa tidak sreg kalau masjid tidak berarsitektur Timur Tengah), salib, patung Buddha Shakyamuni, dan lain-lain. Syekh 'Abdul Qadir al-Jailani, Maulana Jalaluddin Rumi dan para guru kebajikan lainnya selalu menekankan agar kita berlatih memutus rupa dunia dengan memejamkan mata atau menundukkan kepala, terutama ketika sedang sembahyang, seperti halnya orang mati. Falsafah Kejawen menyebutnya mati sajroning urip (mati di dalam hidup), yaitu kematian hawa nafsu.

Sang Buddha pernah bertitah kepada umatnya, "Bila kamu dalam meditasimu masih melihat aku [fisik], bunuhlah aku!" Dalam ajaran Sang Buddha, pemujaan terhadap bentuk-bentuk lahir merupakan refleksi dari berkuasanya nafsu pada diri seseorang, dan menghalangi perjalanannya menuju Sang Pencipta. Spiritualitas tidak memerlukan perantara apa pun untuk mendekat kepada al-Haqq, Puncak Kebenaran, karena yang digunakan adalah perangkat ruhaniah (hati, diri dan jiwa) yang bersifat rahasia, gaib (tankasat mata) dan tersembunyi. Silakan teman-teman merasakan sendiri bedanya antara beribadah dengan perantaraan materi dan dengan menggunakan perangkat ruhaniah. Maha Suci al-Khalik dari segala keserupaan dengan makhluk. Wa Allahu 'alam bishowab.©


Jakarta, 30 Oktober 2008.

Tuesday, October 28, 2008

Dosa Turunan

Sebagai manusia biasa kita sering khilaf dan sering pula tidak ingat/tidak sadar akan kesalahan yang kita perbuat pada orang lain. Namun adakalanya kita malah marah bila diingatkan tentang kesalahan kita pada orang lain yang tidak kita sadari itu. Nah, bagaimana caranya kita bisa mengetahui apa kesalahan kita, orang tua kita, atau bahkan beberapa generasi di atas kita yang sudah tiada ketika kita dilahirkan ke dunia? Sejumlah kerabat saya protes, "Lho, kita kan nggak tau tentang kesalahan leluhur kita, kan kita belum lahir -- atau nggak nyaksiin langsung -- masak kita kena getahnya? Nggak fair, dong!"

Tahukah Anda bahwa dosa leluhur bisa menurun ke kita? Dosa di sini jangan semata-mata diartikan sebagai perbuatan yang melanggar perintah Tuhan, tapi, lebih luas lagi, bermakna 'sifat-sifat yang tidak diinginkan'. Saya dulu tidak percaya, tapi setelah menonton VCD serial Harun Yahya mengenai kromosom, saya jadi yakin bahwa bukan hanya penyakit yang bersifat menurun (genetis), tapi juga sifat (attitude) dan perilaku (behavior). Tidak mesti langsung dari orang tua, namun bisa dari kakek/nenek buyut, bahkan bergenerasi di atasnya lagi. Susahnya, kita bukan bangsa yang suka mendokumentasikan segala sesuatu, sehingga sejarah keturunan kita seringkali susah dilacak. Paling banter berhenti pada kakek-nenek buyut.

Kita berpotensi menerima turunan sifat dan perilaku dari great-great-great-great-great-grandfather, lho. Seorang saudara Subud saya pernah mengamati bakat kepahaman spiritual saya yang dia nilai 'terlalu tinggi untuk orang yang baru menempuh Jalan Spiritual'. Saya juga heran kenapa bisa begitu. Saudara itu menyarankan saya untuk mencari tahu, atau menerima petunjukNya. Tuhan pun menunjukkan jalannya kepada saya: dalam acara resepsi pernikahan sepupu saya dari pihak ibu yang berasal dari Aceh saya bertemu dengan kerabat sepuh yang memberitahu saya, bahwa leluhur saya adalah seorang Sufi dari Irak pada sekitar abad ke-12 Masehi. Beliau termasuk ulama yang mendakwahkan Islam di Aceh. Dari situ saya mengerti dari mana bakat spiritual saya berasal, walaupun secara pribadi saya tidak pernah mengenal sang Sufi leluhur saya itu.

Coba Anda perhatikan, deh. Nabi Muhammad SAW dan Yesus itu kan juga memiliki genealogi (silsilah) kenabian yang berakar pada Nabi Ibrahim (Abraham). Jadi, tidak mungkin/sulit dipercaya jika seseorang yang tidak memiliki genealogi kenabian bisa menjadi nabi/orang suci. Seseorang di zaman ini bisa lho menyerap sifat kriminal dari leluhurnya yang mungkin penjahat mashur berabad-abad yang lalu. Atau kalau leluhurnya raja, bisa jadi bukan gelar raja yang diwarisi keturunannya sekarang, melainkan sifat sombong, arogan, sok kuasa bak seorang raja. Kalau dapat yang enak sih asik-asik saja. Tapi bagaimana kalau Anda mewarisi sifat buruk? Atau, Anda tahu dari seseorang bahwa leluhur Anda tidak seperti yang Anda bayangkan?

Saya baru-baru ini mengalami yang tersebut terakhir. Kamis, 19 April 2007, saya sedang berada di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, kampung halaman ayah saya. Saat jalan-jalan [kaki] ke kawasan wisata Baturaden, saya mampir di sebuah warung makan yang menyajikan ketupat sayur Jakarta. Singkat kata, terjadilah dialog antara saya dengan si penjual, seorang ibu, warga setempat, berusia sekitar 50an tahun. Dia pernah ke Jakarta, diajak kerja pada seorang ajudan jendral bernama Pak Slamet. Dia mengeluh, "Masya Allah, Dik, istri Pak Slamet itu jahatnya minta ampun. Masak saya dituduh mencuri celana. Saya dicaci, dihina, astaghfirullah 'aladziim. Saya pun sebal sama orang yang mengajak saya kerja ke Jakarta."

Setelah saya memberitahu bahwa saya berasal dari Jakarta, tinggal di Mampang dan selama di Purwokerto saya menginap di rumah paman saya yang bernama Pak Darisan (juga di Baturaden), si ibu bilang, "Nah, Dik, Pak Darisan itu yang mengajak saya ke Jakarta. Pak Slamet yang ajudan jendral itu kakaknya Pak Darisan!" Saya terperanjat. Masya Allah, 'istri Pak Slamet yang jahat' yang dimaksud ibu itu tak lain dan tak bukan adalah ibu kandung saya!!!

Ditilik dari tahun si ibu itu kerja sebagai pembantu bagi orang tua saya menunjukkan bahwa saya saat itu belum lahir. Tapi kini saya harus mendengar sendiri cerita seseorang yang menyaksikan sifat buruk ibu saya. Alamak... seperti menelan kedondong bulat-bulat... sakit sekali hati saya. Tapi saya lalu berserah diri; saya serahkan kepada Tuhan apa pun yang pernah diperbuat orang tua saya pada orang lain dan saya mendoakan agar arwah ibu saya diampuni dan diterima di sisiNya. Dengan begitu, saya menghindari kebencian/dendam yang menyesakkan dada, merugikan diri sendiri. Walhasil, si ibu bilang, "Tapi, Dik, itu udah masa lalu. Saya udah memaafkan Bu Slamet, semoga Allah mengampuniNya." Alhamdulillah ya robbal alamin. Dan saya kian memuja Ke-MahaKasih-an Allah SWT ketika si ibu berbaik hati menitipkan ketupat sayur dan bubur kacang ijo untuk paman saya. Gratis!

Semudah itu caranya membersihkan dosa-dosa (dalam arti luas seperti di atas)? Iya. Cukup berserah diri kepada Tuhan -- segalanya berasal dari Dia dan kembali kepadaNya, karena menurut Hadis Qudsi (yang diriwayatkan kepada Thabrani r.a.), tidak ada yang menimpa manusia kecuali dengan izinNya. Al Qur'an juga mencantumkan firman Allah yang berbunyi, "Aku menyesatkan siapa pun yang Aku kehendaki dan memberi petunjuk kepada siapa pun yang Aku kehendaki." (QS Ibrahim [14]: 4) Tapi kita perlu sabar, ikhlas dan tawakal dalam menghadapi kenyataan tentang 'dosa turunan' yang hinggap pada diri kita.©


Jakarta, 29 Oktober 2008.

Sunday, October 19, 2008

Ilmu (Tidak) Pasti

“Ketika engkau menerima tanpa membantah dan merasakan kelezatan ridha dalam suasana bencana, maka kenikmatan-kenikmat an akan datang padamu dari segala penjuru dan tempat.”

—Syekh ‘Abd al-Qadir al-Jailani, Al-Fath ar-Rabbani wa al-Faydl ar-Rahmani—Renungan Sufi (Yogyakarta: Pustaka Al-Furqan, 2006)


Minggu, 12 Oktober 2008 merupakan hari yang istimewa bagi saya. Istimewa bukan karena saya berulang tahun. Bukan pula karena saya memenangkan suatu hadiah yang bernilai tinggi. Namun karena pada hari itu saya melalui serangkaian kejadian yang membawa saya kepada kepahaman bahwa yang pasti dalam hidup ini adalah ketidakpastian. Bahkan ilmu pasti saja tidak bisa dibilang seratus persen pasti. Justru ketidakpastianlah yang mendorong aktivitas penggalian ilmu pengetahuan terus-menerus.

Hari itu saya awali dengan memenuhi janji bertemu dengan seorang kawan di Wisma Subud, Cilandak, Jakarta Selatan. Kawan itu bukan anggota Subud; saya memilih lokasi pertemuan di situ karena suasananya tenang dan tentram. Kawan itu adalah rekan saya semasa kuliah di Jurusan Sejarah Fakultas Sastra UI dahulu. Sudah 15 tahun kami tak bersua.

Kawan saya itu datang bersama ketiga anaknya. Kepada saya ia bertutur bahwa perkawinannya kandas karena istrinyayang tak kuat menanggung hidup penuh perjuangan dan ingin buru-buru kayaberselingkuh dan kemudian menuntut cerai setelah perselingkuhannya diketahui oleh suaminya. Kawan itu ikhlas memaafkan istrinya dan mengharapkan mereka tak perlu bercerai. Meski akhirnya bercerai juga, kawan saya itu tetap memaafkan istrinya. “Aku tak akan menghukummu. Biarlah Tuhan yang melakukan itu,” kata kawan saya menirukan perkataannya sendiri saat ia mengetahui perihal perselingkuhan istrinya.

Setelah itu, (mantan) istrinya kerap mengalami nasib buruk dalam hidupnya, sementara kawan saya merengkuh kebahagiaan bersama ketiga anaknya yang ia besarkan seorang diri. Keikhlasan, kata kawan saya itu, ternyata memudahkan hidupnya. Rezeki datang bertubi-tubi dan ia tak henti-hentinya mensyukuri pengalaman menyakitkan hati itu.

Usai ia menuturkan pengalamannya, giliran saya yang bercerita. Saya berkisah mengenai pengalaman ‘meraup kesuksesan’ dalam beberapa bulan belakangan ini yang sungguh di luar perkiraan saya. Ia begitu terkesan pada kisah saya, yang mengingatkannya pada buku Rhonda Byrne, The Secret – Rahasia (Cetakan V, Jakarta: Gramedia, 2008), sehingga buku yang saat itu kebetulan dibawanya ia pinjamkan ke saya.

Pada akhirnya, kami sama-sama berkesimpulan bahwa tidak ada yang perlu benar-benar diperjuangkan atau dipertahankan mati-matian, karena bagi orang-orang yang berserah diri dengan sabar, ikhlas dan tawakal, segala sesuatu sudah diatur pemberiannya oleh Tuhan. Tugas kita hanyalah menjalani hidup ini sebagaimana tuntunanNya. Tidak pula perlu menangisi kegagalan atau merayakan keberhasilan, karena itu semua sudah pasti hukumnya: Serba tidak pasti.

Jangan bersusah hati jika gagal, karena gagal adalah sukses yang tertunda, kata orang pada umumnya. Pengalaman saya menuturkan bahwa pada frase yang cukup populer ini perlu ditambahkan kalimat: “Sebaliknya, jangan takabur bila sukses, karena sukses adalah gagal yang tertunda!” Tidak ada yang pasti dan abadi dalam hidup ini kan?! Kata orang Jawa, dalam melakoni hidup kita mesti senantiasa eling lan waspada (ingat dan siaga menghadapi segala kemungkinan) .

Setelah kawan saya pergi, saya bergabung dengan para anggota Subud pria yang duduk bertatap muka di sebelah selatan Hall Subud Cilandak, mendengarkan penuturan salah seorang saudara Subud saya yang baru didera penyakit stroke. Seperti maut, kata saudara Subud yang sudah cukup sepuh itu, penyakit datang tanpa aba-aba, dalam keadaan yang tak terduga. Saudara Subud itu baru selesai salat ketika stroke menyerangnya. Tidak ada yang pasti, tidak ada yang dapat diduga sebelumnya. Seperti itulah musibah datang menghampiri kita. Bagaimanapun, saudara Subud itu berkata, dengan tawa lebar terurai di mulutnya, “Ini pengalaman yang mengasyikkan!” Saya kira, hanya orang-orang yang memiliki sikap penyerahan diri yang dibarengi kesabaran, keikhlasan dan ketawakalan sajalah yang mampu memaknai musibah sebagai nikmat.

Dalam perjalanan pulang dari Wisma Subud, saya melewati jalan kecil satu arah yang menghubungkan Jalan Kemang Utara dengan Jalan Bangka XI, Jakarta Selatan. Berlawanan arah dengan saya, seorang pria bersosok macho dengan badan tegapnya dibalut kaos oblong ketat yang menonjolkan otot-ototnya serta mengenakan kacamata gelap memacu sepeda motornya dengan gagah. Ia menancap gas seolah ingin menerjang semua kendaraan bermotor di sekitarnya. Namun yang diterjangnya malah gundukan ‘polisi tidur’ tanpa marka, yang tanpa ampun membuat sepeda motornya terjungkal dan pengemudinya terpelanting, terseret dan berhenti tepat di depan sepeda motor saya.

Saya mengerem dan turun untuk menolong pria itu bersama dua orang lainnya yang kebetulan lewat. Si pria yang tadinya gagah perkasa dengan tampang sangar berkacamata gelap dalam sekejap berubah menjadi seperti anak kecil, menangis dan meraung-raung kesakitan. Pergelangan kaki kirinya patah dan berdarah-darah, tubuhnya berguncang akibat syok. Saya tak henti-hentinya beristighfar menyaksikan semua itu. Saya menyaksikan bagaimana nasib mengubah dirinya semudah membalikkan tangan. Hal itu bisa menimpa siapa saja: saya, Anda, kita semua – sekarang atau nanti…

Sampai di rumah, bayangan akan ‘serba tidak pasti’-nya hidup ini memenuhi kepala saya. Di situ saya memahami, bahwa sejatinya kita tidak punya daya apa-apa. Semua sudah diaturNya. Kita tinggal menjalani saja. Selagi kepala saya masih dipenuhi bayangan itu, seorang sepupu saya bercerita tentang temannya yang berkakak-kandungkan seorang pejabat tinggi di lingkungan militer. Temannya itu mengandalkan kekuasaan kakaknya untuk menjungkirbalikkan sistem hukum, memenangkan tender-tender dan seabrek tindakan penyalahgunaan kekuasaan lainnya. Saya turut mendengarkan tuturan sepupu saya yang bersemangat itu serta memberi kesan, “Jangan khawatir, kalau kamu dekat sama dia, semuanya pasti beres!”

Tidak! protes saya dalam hati. Setelah menyaksikan serangkaian kejadian yang memberi saya kepahaman bahwa satu-satunya yang pasti dalam hidup ini adalah ketidakpastian, saya rasa lebih baik dekat dengan Tuhan ketimbang dengan sesama makhluk. Karena Tuhan bersifat pasti, sedangkan yang selain dari Dia lekang oleh masa.©

Honor Illahiah


“Meramu kekayaan dan kebahagiaan menjadi keikhlasan adalah sebuah pencapaian spiritual.”

—Gede Prama


Pada awal tahun 2008 ini, saya menerima order pekerjaan dari PT Santano Rekamedia, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang periklanan, event management dan publisitas, untuk menulis laporan tahunan (annual report) 2007 bagi klien dari perusahaan yang berlokasi di kawasan Cempaka Putih, Jakarta Pusat, tersebut. Klien PT Santano sendiri adalah PT Pupuk Kalimantan Timur (Pupuk Kaltim) yang kegiatannya berpusat di Bontang, Kalimantan Timur. Setelah nilai nominal honor saya sebagai freelance copywriter disepakati dan dilegalisasi melalui dokumen Perjanjian Kerja Sama tertanggal 18 Januari 2008, yang ditandatangani oleh account manager PT Santano Rekamedia di atas meterai senilai Rp 6.000,- maupun oleh saya sendiri, saya memulai kegiatan pengumpulan data dan penulisan laporan tahunannya dalam dua versi bahasa, yaitu Indonesia dan Inggris.

Bagi saya, nilai nominal honor yang bakal saya terima dari pengerjaan laporan tahunan itu cukup memadai untuk membuat benak saya menyusun sejumlah perencanaan mengenai apa yang akan saya lakukan dengan uang tersebut. Saya berencana membeli komputer desktop PC dan serangkaian perlengkapannya seperti printer, speaker dan perangkat lunak untuk desain grafis dan Web, serta memasang jaringan Internet padanya. Semua itu dalam rangka untuk mendukung profesi saya sebagai pekerja kreatif freelance yang ingin bekerja di SOHO (small office, home office). Sejumlah kerabat dan relasi menyarankan saya agar membeli laptop PC saja ketimbang desktop PC, mengingat bahwa sebagai freelancer saya harus bergerak ke sana ke mari. Maka saya memohon petunjuk kepada Tuhan, mana yang sebaiknya harus saya pilih.

Nilai nominal honor itu pula yang membuat saya bekerja ekstra keras, mengabaikan waktu dan kesehatan saya secara fisik maupun mental. Banyak hal harus saya korbankan untuk itu. Waktu makan dan istirahat saya menjadi tidak teratur, yang menyebabkan kambuhnya sakit maag saya. Relasi sosial saya terganggu, karena jam kerja saya nyaris memakan waktu seharian penuh. Bahkan ketika menjelang tenggat waktu yang ditetapkan, saya dituntut untuk bekerja lembur hingga pukul 4 pagi keesokan harinya, sedangkan siangnya saya mesti mengejar bus ke Surabaya. Saya rela melakukan itu semua demi honor yang telah disepakati dan dilegalisasi oleh dokumen Perjanjian Kerja Sama antara saya dan PT Santano Rekamedia.

Pasal 5 dari dokumen Perjanjian Kerja Sama itu membahas soal pembayaran honor saya, yang berbunyi: “Pembayaran dilakukan PIHAK PERTAMA kepada PIHAK KEDUA jika seluruh pekerjaan baik itu data collecting dan penulisan yang disetujui selesai, termasuk persyaratan administrasi dilengkapi PIHAK KEDUA dengan jumlah Rp xx 000.000 (xx juta rupiah) akan dibayar setelah 30 hari kerja dari pengiriman master penulisan.” Manusia boleh berencana, tetapi Tuhan yang menentukan hasil akhirnya…

Saat semua pekerjaan saya tuntas, termasuk revisi-revisinya, benak saya makin berbinar-binar dengan jumlah uang yang sebentar lagi bakal mengisi dompet saya. Tetapi angan-angan tinggallah angan-angan, tak pernah sampai di tangan. Hampir enam bulan telah berlalu dari tenggat waktu kesepakatan pembayaran saya, namun PT Santano Rekamedia tak kunjung membayarkan honor saya. Seribu satu macam alasan dilontarkan oleh staf bagian keuangannya, antara lain bahwa Pupuk Kaltim sendiri terlambat membayar PT Santano.

Namun, ajaibnya, semua yang pernah saya rencanakan di benak saya, saat pertama kali tercapai kesepakatan antara saya dengan PT Santano terkait dengan nilai nominal honor saya, telah menjadi kenyataan. Hebatnya lagi, saya tak perlu bersusah-payah membuat pertimbangan antara membeli desktop PC atau laptop PC, karena, akhirnya, keduanya jatuh ke tangan saya. Uang yang dijanjikan PT Santano belum dibayarkan ke saya, tetapi semua yang ingin saya beli dengan uang tersebut kini telah masuk inventaris kepemilikan saya. Saya bahkan tidak merasa telah mengeluarkan uang banyak untuk mendapatkan semua itu. Sebagian bahkan nyata-nyata merupakan pemberian orang, dengan alasan sederhana: “Karena Mas Anto membutuhkannya.”

Beberapa orang yang saya ceritakan mengenai mukjizat yang saya alami ini menyarankan saya agar membaca buku Rhonda Byrne, The Secret—Rahasia (Jakarta: Gramedia, 2008). (Aneh ya? Saya disarankan membaca teori tentang sesuatu yang telah saya praktikkan tanpa landasan teori sama sekali!) Saya telah membacanya sepintas dan tidak pernah menuntaskan pembacaannya, karena menimbulkan pusing tujuh keliling di kepala saya. Alasannya, buku The Secret mengutak-atik sesuatu yang masih bersifat teoritis, yaitu Hukum Tarik-Menarik (the Law of Attractions), dan bahkan merupakan rekaan sejumlah orang yang menafikan eksistensi Illahiah pada segala sesuatu. Dalam bahasa Subud-nya, The Secret adalah hasil olah akal pikir yang, menurut saya, keterlaluan. Bandingkan dengan 11th Element-nya Robert Scheinfeld, yang tidak mengajukan teori apa pun terkait pengalaman-pengalam an seperti yang saya lalui ini. Scheinfeld hanya menganggapnya sebuah fenomena alami. Ia memang tidak mengimani Tuhan yang dikenal kalangan umat beragama, tetapi ia tidak menafikan eksistensi sesuatu yang lebih besar di balik kehidupan manusia, yang tidak terjelaskan melalui pelbagai istilah atau bahasa, namun ada, hidup, dan bekerja untuk kemaslahatan umat manusia.

Segala jerih-payah saya memang belum dibayar oleh PT Santano, tetapi Tuhan yang maha ‘ada, hidup dan bekerja’ mengisi kas rumah tangga saya dengan honor Illahiah. Betapa pun apa yang saya alami ini cukup membuat saya marah, jengkel dan menyesal, namun sejatinya pengalaman ini memberi saya keinsafan bahwa kita tidak sepatutnya menggantungkan harapan pada sesama makhluk serta mempertegas kenyataan bahwa manusia bisanya hanya berencana, sedangkan yang mengatur pengimplementasiann ya adalah Tuhan. KepadaNya kita serahkan segala urusan kita – itulah makna dari berserah diri.

Hingga kini, saya masih mengupayakan agar PT Santano Rekamedia bersedia membayarkan honor saya. Namun upaya ini utamanya dilandasi niat untuk mengikhlaskannya, sehingga apa pun hasilnya kelak, insya Allah bisa saya terima dengan lapang dada. Suara sang jiwa pun berkata kepada saya, “Tidak usah disesali. Bukankah yang kamu inginkan sudah kamu dapatkan?”©

P.S.: Tulisan ini memiliki dua maksud. Pertama, sebagai sarana berbagi pengalaman, di mana Anda barangkali dapat memperoleh hikmah darinya. Kedua, sebagai peringatan agar Anda berhati-hati dalam menjalin kerja sama dengan pihak lain, utamanya yang melibatkan properti intelektual serta energi Anda dan di dalam kerja sama ini terjadi kesepakatan mengenai pembayaran honor.